Tag Archive for: UII YOGYKARTA

(TAMAN SISWA); Pada tanggal 19, 20, 26 dan 27 November 2021 Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan Pelatihan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bekerjasama dengan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KEMENKUM HAM RI) yang dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) yang diikuti oleh mahasiswa/i Fakultas Hukum yang sedang menempuh Mata Kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dimana pemateri dalam pelatihan ini di isi oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan dari Kemenkum HAM RI.

Pelatihan pembentukan peraturan perundang-undangan ini mengangkat tema “Merancang Sistematika Peraturan Perundang-undangan.” Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintah suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Sebagai suatu wacana untuk melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi para pihak yang berhubungan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pelatihan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di buka oleh Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H dan Kaprodi Fakultas Hukum UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. Pelatihan dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan dengan pemateri, dimana dalam pertemuan pertama pemateri memberikan materi terkait hal perancangan, penyusunan, dan penulisan rancangan maupun perubahan peraturan perundang-undangan.

Setelah pelatihan minggu pertama, pendamping memberikan soal simulasi yang di kirimkan melalui google classroom dan melakukan pendampingan melalui grup whatsapp serta pendamping mengadakan pertemuan secara daring dalam waktu pengerjaan soal simulasi. Pertemuan minggu kedua, pemateri mereview hasi simulasi ang telah kumpulkan melalui google classroom yaitu pembuatan naskah hukum dan soal essay terkait pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pelatihan diisi oleh empat pemateri yaitu Bapak M. Waliyadin, S.H., M.Si. yang menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Pemateri kedua yaitu Ibu Andriana Krisnawati, S.H., M.H. yang menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Standarisasi dan Bimbingan Perancang Peraturan Perundang-undangan. Pemateri ketika yaitu Ibu Reni Oktri, S.H., M.H. yang menjabat sebagai Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda merangkap Kepala Seksi Bimbingan dan Konsultasi Perancang Peraturan Perundang-undangan. Pemateri keempat yaitu Prahesti Sekar Kumandhani, S.H., M.H. yang menjabat sebagai Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda.

Soal Simulasi diberikan pada tanggal 19 dan 20 November 2021 lalu pengumpulan hasil simulasi pada 24 dan 25 November 2021, simulasi di laksanakan dengan sistem kelompok dimana dalam satu kelompok  ada 3-4 pendamping yang membantu peserta apabila ada kesulitan saat membuat simulasi, dengan memberikan waktu 4 hari pengerjaan simulasi dan selalu di damping oleh pendamping melalu group whatsapp dan pertemuan dengan zoom, sehingga apabila ada peserta yang bertanya akan langsung pendamping jawab dan tidak ada pengulangan pertanyaan sehingga peserta pun mengetahui hal tersebut.

Pelatihan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tutup secara resmi oleh Kaprodi Fakultas Hukum UII yaitu Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. dan Sekretaris Jurusan Hukum yaitu Bagya Agung Prabowo, S.H., M.H., Ph.D. Dalam penutupan disampaikan bahwa besar harapan Fakultas Hukumtuk pembangunan hukum di Indonesia dan mengharapkan kerjasama dan kedepannya dapat diadakan pelatihan yang serupa bersama Kementrian Hukum dan HAM RI bersama Pusdiklat FH UII. Peserta juga memberikan kesan dan pesan untuk Pelatihan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, meskipun pelaksanaan pelatihan kali ini masih dilaksanakan dengan metode daring (dalam jaringan) tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat peserta dalam mengikuti pelatihan ini.

 

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, Koran Kedaulatan Rakyat, 08 Oktober 2021.