Menjaga Marwah MK Jamaludin Ghafur
Menjaga Marwah MK Jamaludin Ghafur
Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]
Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Serta salah satu misinya yaitu membangun sistem peradilan konstitusi yang mampu mendukung penegakan konstitusi, Mahkamah Konstitusi membutuh orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada diinternal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (hukum tertinggi di republik ini), maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Sehingga tidak berlebihan kiranya, UUD 1945 mempersyaratkan hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945), sesuatu yang tidak dipersyarakatkan untuk jabatan-jabatan publik lainnya kecuali hanya untuk hakim MK.
Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggungjawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan hanya sekedar secara gramatikal/ tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu dan kematangan jiwa.
Hakim Negarawan
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak memberikan defisi tentang makna negarawan. Oleh karenanya, setiap orang dapat saja memberikan kriteria yang berbeda-beda. Namun demikian, setiap orang hampir pasti bersepakat bahwa kriteria minimal dari seorang negarawan, ia adalah orang yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya sendiri. Artinya, dia telah mewakafkan diri dan hidupnya hanya untuk kepentingan bangsa dan negara tanpa sedikitpun ingin mengambil keuntungan pribadi dari jabatan yang sedang disandangnya.
Oleh karena jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka seorang negarwan tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. Baginya, jabatan, terlebih sebagai hakim, merupakan mandat yang diberikan rakyat karena keagungan integritas dan keluasan cakrawala keilmuannya. Karena alasan inilah, sekalipun undang-undang dan putusan hakim posisinya sederajad, namun putusan hakim dianggap lebih tinggi nilainya karena kualifikasi seorang hakim berbeda dengan kualfikasi seorang wakil rakyat (DPR) yang berwenang membentuk UU. Menurut A.V. Dicey, moralitas pengadilan jauh lebih tinggi dari moralitas para politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan politisi
Dengan demikian, tindakan Ketua MK Arief Hidayat yang disinyalir melakukan lobi-lobi politik dengan DPR agar dirinya terpilih kembali sebagai hakim MK dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Sebagai calon incumbent, semestinya ia tidak perlu melakukan lobi-lobi politik apapun karena jika dirinya memiliki prestasi-prestasi yang gemilang, otomatis akan dipercaya lagi menjadi hakim MK. Aktifitas lobi-lobi politik ini justru mengindikasikan hal yang sebaliknya bahwa yang bersangkutan tidak memiliki prestasi yang prestisius sehingga untuk memperoleh kembali jabatannya harus melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar etika hakim.Belajar dari Pengalaman
Dalam usianya yang hampir memasuki tahun ke-15 ini, banyak hal telah terjadi di lembaga peradilan konstitusi ini baik prestasi maupun petaka. Semua prestasi tentu tidak perlu dibicarakan karena memang demikianlah sepatutnya. Namun terhadap berbagai kekurangan perlu dievaluasi agar dapat diperbaiki dan tidak terulang kembali. Diantara hal-hal negatif yang menimpa lembaga ini, tertangkapnya dua mantan hakim MK yaitu Akil Muhtar dan Patrialis Akbar oleh KPK karena terlibat kasus korupsi merupakan mega skandal yang memporak-porandakan kewibawaan mahkamah.
Tentu ada banyak faktor kenapa hal itu terjadi, namun satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa proses dan mekanisme seleksi hakim MK yang berjalan selama ini belum sepenuhnya memberikan jaminan bahwa hakim terpilih adalah sosok yang ideal. Bahkan, penetapan Patrialis Akbar sebagai hakim MK pernah digugat ke pengadilan tata usaha negara karena prosesnya dianggap tidak transparan dan penuh barter politik.
Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila dilevel ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka rasa-rasanya sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan. Oleh karenanya, agar kejadian-kejadian buruk yang terjadi di masa lalu tidak terulang lagi, penting untuk memastikan bahwa desas-desus adanya lobi-lobi politik atas terpilihnya kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK perlu ditelusuri kebenarannya. Dewan etik MK perlu menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan untuk membutikan benar tidaknya kecurigaan publik bahwa ada aroma tidak sedap dalam kasus ini.
[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.