Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

 

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat, 17 September 2020.

 

Penulis: M. Syafe’i, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Penyelenggaraan Pilkada 2020 sudah melewati tahapan penting, yaitu pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan uadit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT. Puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan jangan lupakan lagi difabel. Aksebilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan komunitas rentan, utamanya warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Difabel menceritakan, PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesbilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang memudahkan semua orang. Aksesbilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi. Juga mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesbilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas. Atas dasar kesamaan dengan warga lainnya terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.

Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak dan kesempatannbagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah wajib menjamin hak politk penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas.

Pendekatan

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemiihan Umumn (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesbilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa lain. Namun, demikian, PKPU ini berlaku untuk pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel.

Berpijak pada kondisi diatas, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesbilitas bagi warga negara yang memilkiki hambatan. Utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Kedaultan Rakyat, 17 September 2020.

 

 

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Tempo, 10 September 2020.

Disampaikan kepada Seluruh Mahasiswa Prodi Hukum Program Sarjana FH UII terkait pelaksanaan Mata Kuliah Pemagangan Semester Ganjil Tahun Akademik 2020/2021 untuk memperhatikan pengumuman berikut:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Adapun Form terkait pelaksanan pemagangan terlampir, sebagai berikut:
1. Formulir Permohonan Magang Mandiri [Unduh 1. Formulir-Permohonan-Magang-Mandiri]
2. Formulir Surat Pernyataan Pemagangan Mandiri [Unduh 2. Formulir Surat Pernyataan Pemagangan Mandiri]
3. Formulir Surat Pernyataan Pemagangan Reguler [Unduh 3. Formulir Surat Pernyataan Pemagangan Reguler]

4. Template Surat Pemberitahuan kepada DPA/DPTA [Unduh 4. Template Surat Pemberitahuan DPA-DPTA]
5. Template Term of Reference (TOR) [Unduh 5. Template Term of Reference (TOR)]
6. Contoh TOR [Unduh 6. Contoh TERM OF REFRENCE]

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Agar proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan capaian pembelajaran Mata Kuliah Kemahiran Hukum (MKKH) Keadvokatan, Praktik Penyidikan dan Penuntutan serta Praktik Peradilan Pidana & Praktik Peradilan Perdata dapat terpenuhi.

Disarankan :

  • Mengambil mata kuliah Keadvokatan dan Praktik Penyidikan & Penuntutan secara bersamaan.
  • TIDAK mengambil mata kuliah Praktik Peradilan Perdata dan/atau Praktik Peradilan Pidana, sebelum menempuh mata kuliah Keadvokatan DAN Praktik Penyidikan dan Penuntutan.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 01 September 2020

Ketua Prodi Hukum Program Sarjana,

Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Pandemic Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 lalu telah menimbulkan Implikasi yang sangat luas. Implikasi Pandemic Covid-19 terjadi dalam berbagai bidang khususnya bidang hukum-ekonomi. Hampir seluruh negara terdampak pandemic telah mengalami kesulitan perekonomian bahkan memasuki masa resesi.

Dampak pandemic juga terjadi di Indonesia. Sebagai sebuah negara emerging market, pandemic Covid-19 telah ‘memukul telak sektor ekonomi.’

Kesulitan ekonomi sebagai dampak Pandemic Covid-19 terjadi dalam bidang investasi, perbankan, pasar modal hingga kontrak komersial.

Secara lebih khusus, pandemic Covid-19 juga telah menghantam sektor UMKM di Indonesia. Kondisi demikian menjadi semakin berat mengingat UMKM memiliki peran esensial dalam perekonomian nasional.

Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk dapat bertahan dan keluar dari persoalan dampak pandemic. Salah satu diantaranya adalah kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru (New Normal). Namun demikian, patut dipahami bahwa Era New Normal bukanlah tanpa tantangan.

Sebagai respon atas kondisi tersebut, maka:
Department Hukum Perdata Fakultas Hukum UII bersama dengan Pusat Studi Pasar Modal Fakultas Hukum UII dan Business Law Community Fakultas Hukum UII menyelenggarakan Webinar nasional ini.

Segera daftarkan diri Anda. Mari kita diskusi bersama.