Tag Archive for: Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak, Ibu dan Rekan-rekan sekalian atas partisipasi dalam kegiatan Call for Paper Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dengan tema “Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Administratif dan Wacana Pembentukan Lembaga Eksekutorial di Pengadilan Tata Usaha Negara”.

Pengumuman hasil penilaian Call for Paper dapat dilihat pada tautan berikut ini:

Lihat Daftar Naskah Lolos Call for Paper

Bagi Bapak, Ibu, dan Rekan-rekan yang dinyatakan “DITERIMA” kami mohon untuk memperhatikan beberapa ketentuan yang telah panitia informasikan pada tautan tersebut.

Atas nama seluruh panitia, kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif seluruh peserta dari berbagai institusi. Kami juga memohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam proses seleksi Call for Paper ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ttd
Panitia

Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan Webinar Nasional dan Call for Paper yang mengusung tema “Pembaruan Hukum Administrasi Negara di Era Birokrasi Digital”. Acara tersebut dilaksanakan secara daring pada tanggal 28 September 2021, melalui media Zoom Meeting dan disiarkan juga pada kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Kegiatan yang dilaksanakan secara daring ini dan mendapat atensi yang baik dari berbagai pihak. Dikemukakan Ketua Panitia, Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H. pada Selasa (28/9), hal tersebut nampak dari banyaknya universitas maupun intansi yang bergabung dari berbagai wilayah di Indonesia. Disisi-lain, jumlah paper yang dipresentasikan di konferensi nasional ini, yaitu sebanyak 30 paper.

Pelaksanaan webinar nasional ditandai dengan sambutan dan pembukaan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, yaitu Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. Dalam sambutannya menjelaskan bahwa teknologi informasi berhubungan dengan hukum. Minimal ada 3 (tiga) aspek yang bisa diidentifikasi, yang pertama terkait hukum teknologi informasi sebagai produk. Hukum perlindungan data yang menjadi hal mewah. Yang kedua adalah hukum untuk TI sebagai alat bantu strategis. Misalnya terkait dengan barang dan jasa secara elektronik, terdapat juga UU ITE. Kemudian yang ketiga adalah teknologi informasi untuk penegakkan hukum.

Keynote Speaker yaitu Prof. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. yang merupakan Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Republik Indonesia. Beliau menyampaikan materi tentang “Tantangan Peradilan Tata Usaha Negara di Era Birokrasi Digital”. Ia menjelaskan dunia mengalami perubahan, tuntutan masyarakat melakukan perubahan, karena optimalisasi penggunaan teknologi dalam era 4.0. Namun sarana dan prasarana yang belum terpenuhi secara merata mengakibatkan pihak dan SDM Pengadilan yang gagap teknologi.

Selanjutnya, Dr. Ridwan, S.H., M. Hum. merupakan dosen FH UII, departemen Hukum Administrasi Negara dalam materinya mengangkat tema “Diskresi Pemerintah di Era Birokrasi Digital”. Menurut, Dr.  Ridwan, S.H., M. Hum., penyebab kemunculan dan alasan atau tujuan penggunaan diskresi itu tidak selalu bahkan sangat jarang terjadi secara kumulatif. Hanya dengan satu alasan, misalnya mengisi kekosongan hukum (leemten in het recht), diskresi dapat digunakan. Apalagi dalam kondisi spesifik dan mendesak, penggunaan diskresi bukan sekedar dapat tetapi wajib, karena organ pemerintah dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan demi kepentingan umum.

Pembicara kedua pada webinar ini yaitu Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M. M., beliau merupakan seorang Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (HAN FH UNS). Beliau mengangkat tema, “Dinamika Kebijakan Perizinan Berusaha di Era Birokrasi Digital”.

Pembicara terakhir pada webinar ini yaitu Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., Ph. D. beliau merupakan Ketua Ombudsman Republik Indonesia. Beliau mengangkat tema, “Pengawasan Pelayanan Publik di Era Birokrasi Digital (Kedudukan Lembaga Pengawas Eksternal Dalam Reformasi Birokrasi & E-Gov)”.

“Peran Ombudsman secara khusus dalam SPBE secara langsung tidak ada. Ombudsman hanya terlibat dalam pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) dengan instrumen aplikasi SP4N-LAPOR! sebagai pengawas eksternal pelayanan public.” ujar Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., Ph. D.

Assalamu’alaikum wr.wb

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak, Ibu dan Rekan-rekan sekalian atas partisipasi dalam kegiatan Call for Paper Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dengan tema “Pembaruan Hukum Administrasi Negara di Era Birokrasi Digital”.

Pengumuman hasil penilaian Call for Paper dapat dilihat pada tautan berikut ini:

Lihat Daftar Naskah Lolos Call for Paper

Bagi Bapak, Ibu, dan Rekan-rekan yang dinyatakan “DITERIMA” kami mohon untuk memperhatikan beberapa ketentuan yang telah panitia informasikan pada tautan tersebut.

Atas nama seluruh panitia, kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif seluruh peserta dari berbagai institusi. Kami juga memohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam proses seleksi Call for Paper ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

ttd
PANITIA

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Umumnya wartawan itu punya pilihan berita sendiri, tak bisa diarahkan untuk memberitakan sesuatu kecuali oleh pimpinan medianya. Dua hari lalu (11 Agustus 2016) misalnya, saya hadir dan ikut membahas peluncuran buku Sistem Politik Indonesia: Kritik dan Solusi Sistem Politik Efektif di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Buku itu ditulis oleh Ubedilah Badrun. Isinya lumayan bagus, mendiagnosis problema sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia serta alternatif-alternatif solusi sebagai terapinya.

Saya yang kebagian tugas membahas buku itu merasa senang ada dosen muda yang paham politik dan ketatanegaraan, seperti Ubedillah, menulis secara serius problema yang sedang kita hadapi. Banyak wartawan yang hadir pada peluncuran buku itu, tetapi tidak banyak yang memberitakan substansi dan pesan penting dari buku itu. Saya yang sudah membahas buku itu dengan serius malah ditanya hal-hal lain.

Para wartawan itu menanyakan pengujian Undang-Undang (UU No 10 Tahun 2016 oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi mengenai kewajiban cuti bagi kepala daerah yang akan bertarung kembali di daerah yang sedang dipimpinnya. Mereka juga bertanya soal isu yang ditangkap dari pernyataan Luhut Pandjaitan saat menjadi menko polhukam bahwa pihaknya membentuk tim yang akan merumuskan peraturan agar pejabat yang korupsi tak perlu dipenjarakan karena penjara sudah penuh. Koruptor-Koruptor itu cukup dipecat dan diminta mengembalikan uang hasil korupsinya.

Apakah secara hukum cuti bagi calon gubernur petahana harus dilakukan atau boleh tidak diambil? Apakah betul Bapak menjadi tim untuk membuat peraturan yang bisa membebaskan pejabat yang korupsi dari pemenjaraan seperti yang dikatakan oleh Pak Luhut?” Itulah, antara lain, pertanyaan yang disampaikan kepada saya.

Saya menjawab bahwa di dalam hukum itu ada istilah hak yang merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya dan pemerintah wajib memenuhinya jika hak itu diminta oleh pemegang hak. Memilih di dalam pemilu, misalnya, adalah hak. Jika orang yang mempunyai hak pilih akan menggunakan haknya, negara wajib memenuhi dan memfasilitasi orang tersebut agar dapat memilih. Tapi jika yang bersangkutan menyatakan tak akan menggunakan hak pilihnya, dia tak bisa dipaksa untuk memilih.

Pada umumnya cuti dianggap sebagai hak. Kita sering Mendengar istilah cuti melahirkan, cuti tahunan, dan lain-lain yang merupakan hak. Cuti Sebagai hak memang bisa diambil dan bisa tidak diambil. Hak cuti tahunan bagi PNS, misalnya, boleh diambil dan boleh tidak diambil atau diatur sendiri waktu pengambilannya. Tapi cuti itu tidak selalu berarti hak, melainkan bisa merupakan kewajiban atau bahkan larangan.

Kalau dalam keadaan tertentu cuți oleh hukum dinyatakan sebagai kewajiban, maka cuti wajib diambil. Ketika dulu pada tahun 2000 saya diangkat menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid, saya wajib mengambil cuti di luar tanggungan negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Itu sesuai dengan hukum bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu wajib mengambil cuti.

Cuti juga bisa dilarang. Dalam keadaan gawat karena letusan gunung berapi misalnya, pegawai vulkanologi yang seharusnya mempunyai hak cuti bisa saja dilarang mengguna kan hak cutinya sampai keadaan tertentu. Terkait dengan ini, polemik soal calon kepala daerah apakah harus mengambil atau boleh tidak mengambil cuti, menurut UU yang berlaku, hukumnya adalah “wajib melakukan cuti seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU No10 Tahun 2016.

Sebenarnya dulu, berdasar Pasal 58 q UU No 12 Tahun 2008, ada ketentuan UU bahwa calon kepala daerah petahana wajib menyatakan berhenti sebagai kepala daerah jika mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah. Tapi ketentuan tersebut diuji materi oleh Gubernur petahana Provinsi Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 MK memenangkan gugatan (permohonan judicial review) Sjachroedin.

MK memutus bahwa petahana yang mencalonkan diri lagi tidak harus mengundurkan diri, tetapi harus melakukan cuti sejak resmi ditetapkan KPU sebagai calon. Sjachroedin sendiri tidak menikmati kemenangan perkaranya itu karena terlanjur menyatakan berhenti sebelum putusan MK dikeluarkan. Tapi putusan MK atas gugatan Sjachroedin menjadi hukum dan memuat legal reasoning mengapa calon petahana wajib mengambil cuti.

Legal reasoning vonis MK inilah yang kemudian dipakai oleh lembaga legislatif dan KPU ketika mengharuskan pengambilan cuti oleh petahana yang menjadi kontestan dalam pemilu kepala daerah.

Akan halnya pertanyaan lain dari wartawan, apakah saya masuk dalam tim pemerintah yang akan membebaskan pejabat korup dari hukuman penjara asalkan harta hasil korupsinya dikembalikan kepada negara, saya menjawabnya tidak pernah membicarakan apalagi ikut dalam tim itu. Sejak dulu saya berpendapat, koruptor itu harus dihukum berat karena telah menjadi drakula penghisap darah bangsa dan negaranya.

Saya kira pers salah kutip tentang itu dari Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan. Nyatanya saya hanya ikut dalam satu rencana untuk membuat UU induk atas proses investasi yang kerap kali terhalang oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang saling kunci sehingga menghambat implementasi 12 Paket Kebijakan Ekonomi. Kalau soal sinkronisasi UU yang terkait dengan pembangunan ekonomi itu, saya bersama Jimly Asshiddiqie dan Indrianto Senn Adjime mang pernah membicarakannya secara serius dengan Pak Luhut. Tapi kalau soal penurunan bobot atau jenis hukuman bagi koruptor saya tidak pernah ikut membicarakannya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 13 Agustus 2016.