Tag Archive for: PSH UII

Tindak pidana korupsi telah menjadi “virus” yang tak kunjung reda merongrong bangsa Indonesia. Upaya dalam melawan tindak pidana korupsi telah dilakukan mulai dari pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hingga pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Merujuk kondisi saat ini soal pemberantasan korupsi yang kian hari semakin memperihatinkan, tentunya tidak perlu menjadi perdebatan lagi bahwa korupsi merupakan extra ordinary crimes. Maka penanganan dari korupsi juga memerlukan extra ordinary action. Oleh sebab itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang lahir dari kesadaran kolektif bangsa Indonesia atas permasalahan korupsi selama masa pemerintahan orde baru untuk menjawab public distrust penangan korupsi oleh Negara. KPK lahir menjadi Lembaga negara independent  yang krusial dalam efektivitas pemberantasan korupsi yang mana dengan sifat superbodynya paling tidak sampai hari ini masih dipercaya public ketimbang penegak hukum lainya. Namun upaya pemberantasan tersebut mendapat perlawanan balik yang dilakukan dari berbagai aspek. Mulai dari perubahan UU KPK, terror terhadap pegawai KPK hingga penegakan hukum yang tebang pilih yang dapat memperlemah pemberatasan korupsi.

Upaya pelemahan pemberantasan korupsi dapat dilihat dari proses perancangan UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam proses pembentukannya terdapat akselerasi yang dilakukan di penghujung masa jabatan DPR RI periode 2014-2019. Akselerasinya yang cepat sehingga menyulitkan masyarakat dalam mengawal proses pembentukanya. Dalam tataran materiil banyak aturan yang memicu permasalahan. Mulai dari dibentuknya dewan pengawas KPK, kedudukan KPK yang di bawah rumpun Eksekutif, hingga peralihan status kepegawaian pegawai KPK. Substansi UU KPK secara terang benderang telah melumpuhkan KPK dari sisi profesionalitas juga integritasnya. hilangnya independensi, pembentukan fungsi berlebih dewan pengawas, polemik kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan hingga alih status kepegawaian KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN). Impilikasi dari UU KPK tersebut telah mempersulit kinerja KPK, mulai dari kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat mendindak kasus tipikor, hilangnya aktor kunci dalam kasus tipikor yang tidak ditemui hingga sekarang hingga penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dalam pemberian SP3 tersebut masih terdapat berbagai kejanggalan. Berdasarkan eksaminasi Putusan MK, terdapat berbagai kejanggalan mulai dari aspek formil dan materiil pembentukan perubahan UU KPK, aspek kepegawaian, dan aspek peradilan pidana. Selain itu KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Mulai dari pencurian barang bukti, praktek penerimaan gratifikasi, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK, serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi satu-satunya harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi. Seperti tindakan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli sebagai pimpinan KPK yang secara tidak langsung telah mencoreng marwah KPK sebagai lembaga yang menjunjung tinggi integritas dan juga independensi. Mirisnya tindakan ini tidak mendapatkan hukuman keras dari dewan pengawas dan hanya diputus pemotongan gaji oleh dewan pengawas. Lalu adanya upaya untuk menghidupkan kembali tim pemburu koruptor yang akan semakin menambah ketidakefektifan dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, serta adanya tumpang tindih dalama pelaksanaan tugas tugas pemberantasan korupsi.

Upaya pelemahan lainnya disinyalir merambah ke dalam KPK sebagai salah satu instrument pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari polemik proses alih status kepegawaian melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) yang mengakibatkan dipecatnya 57 pegawai KPK. Hal ini kemudian diperparah dengan adanya fakta bahwa beberapa orang yang memiliki track record baik, masuk ke dalam daftar pegawai yang dipecat tersebut. Dalam hal ini Ombudsman dan Komnas HAM telah mengirimkan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo berupa adanya maladministrasi dan juga 11 pelanggaran HAM dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK. Namun Presiden Joko Widodo selaku Kepala Pemerintahan belum memilki sikap tegas untuk menganulir upaya pelemahan terhadap pemberatasan korupsi hari ini.

Maka dengan ini kami dari Aliansi UII Lawan Korupsi menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam upaya pelemahan pemberantasan korupsi secara sistematis mulai dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaannya;
  2. Menuntut Pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan serta mengambil sikap tegas dan kongkrit atas pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia;
  3. Mendesak Pemerintah untuk mencabut SK pemberhentian atas 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang disebabkan oleh Tes Wawasan Kebangsaan yang cacat secara formil dan materiil;
  4. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas Ham atas temuan maladministrasi dan 11 pelanggaran HAM didalam prosedur pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK);
  5. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK);
  6. Mengembalikan KPK sebagai lembaga yang independen tidak dibawah kekuasaan mana pun;
  7. Mengajak masyarakat untuk terus berperan aktif mengawal pemberantasan korupsi dan mengawasi kinerja Pemerintahan dan aparat penegak hukum;

TAMAN SISWA – Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar bertajuk “Eksaminasi Publik Putusan MK Atas UU KPK” pada Sabtu (31/7). Webinar diadakan secara virtual dan disiarkan secara live pada kanal Youtube PSH FH UII.

Webinar tersebut mengundang narasumber Guru Besar FH UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.,  Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.. Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Dr. H. Bambang Widjojanto, S.H., M.Sc. yang merupakan Pimpinan KPK Periode 2011-2015.  Webinar ini dibuka oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., P.hD.  dan dihadiri juga oleh dosen-dosen FH UII, salah satunya yaitu Dr. Drs. Muntoha, S.H., M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Mahasiswa, dan Alumni FH UII.

Eksaminator pada webinar kali ini diantaranya Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (FH Universitas Padjajaran), Bivitri Susanti, S.H., LL.M. (FH STIH Jentera), Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D. (FH UMY), Dr. Ridwan, S.H., M.Hum (FH UII), Dr. Trisno Rahardjo, S.H., M.Hum (FH UMY), Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. (FH Universitas Atmajaya Yogyakarta), dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M (Fakultas Hukum UGM).

 

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan bahwa UII dan berbagai elemen baik dari akademisi maupun dari masyarakat secara konsisten dari awal mengkritisi RUU KPK sampai akhirnya UU KPK ini disahkan pada 17 September 2019. Namun sepertinya, pendapat yang sudah disuarakan tidak mendapat respon. Akhirnya pada awal November 2019 UII memutuskan untuk memohon Yudisial Review. “Bagi kami, permohonan yudisial review adalah bentuk jihad konstitusional dan bukti bahwa kami mencintai Indonesia” tuturnya.

Prof. Ni’matul Huda sebagai pemateri webinar dan juga Guru Besar FH UII menyampaikan terkait putusan MK No 70 ini memang ada ketidakseimbangan dalam penyampaian dissenting opinion hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, adanya karpet merah yang diberikan kepada MK, bisa jadi dapat berpengaruh pada mandulnya putusan MK. Jika melihat pada Presiden, kerap kali kebijakannya itu terjerat dengan adanya kepentingan politik antar partai. Sehingga, apabila pemerintah saat ini menghendaki KPK itu lemah, maka yang dapat dilakukan masyarakat yang masih memiliki semangat yang panjang ini adalah bersama-sama untuk menguatkan KPK.

Dr. H. Bambang Widjojanto, S.H., M.Sc. selaku narasumber menyampaikan ada lima catatan atas putusan MK No 70 maupun No 79 mengenai UU KPK, yaitu MK telah menggali kubur otensitasnya sebagai OASE dalam penanganan soal konstitusional, Putusan MK melanggar asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Pelanggaran terhadap tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi, Hakim MK tidak menunjukkan karakter kenegarawannya, dan putusan MK meruntuhkan kepercayaan public atas integritas peradilan.

 

*Untuk melihat webinar tersebut silakan dapat kunjungi klik.

Penulis: Anang Zubaidy, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Hukum FH UII.

 

JUMLAH kasus positif Covid-19 di Indonesia beberapa hari ini menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Sepekan terakhir tercatat penambahan jumlah kasus positif Covid-19 berada di atas 5.000 orang per hari. Bahkan, pada tanggal 3 Desember 2020 terjadi lonjakan jumlah kasus positif yang sangat signifikan, yakni sebanyak 8.369 orang positif Covid-19. Pertambahan jumlah kasus positif ini membuat Presiden Joko Widodo mengungkap kekecewaannya dalam rapat terbatas. Menurutnya, penanganan Covid-19 memburuk.

Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak kalangan semakin mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020. Secara serentak, pilkada kali ini akan digelar di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan 100 juta lebih pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU. Sebuah jumlah orang yang terlibat yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa kalangan termasuk penulis, telah menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak tahun ini ditunda sampai dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Namun, para pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, dan KPU) tidak bergeming dengan berbagai desakan yang datang dan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang sedang melanda.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, perlu langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaan pilkada tetap berjalan sambil diupayakan langkah agar tidak ada kluster baru kasus positif Covid-19 Peraturan KPU No 6 Tahun 2020, KPU tampaknya sudah merumuskan berbagai langkah antisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru. Berdasarkan beleid ini, langkah pencegahan penularan diupayakan melalui penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, pengecekan suhu tubuh, hingga disinfektasi peralatan-peralatan yang sering dipakai pada setiap tahapan pilkada. Namun, sebagaimana diketahui banyak pihak, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahapan pilkada yang sudah tak seindah didengungkan. Masih banyak ditemukan pelanggaran.

Pelanggaran itu bisa saja terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum. Bisa pula karena belum adanya pemahaman yang memadai dari masyarakat sebagai akibat
sosialisasi yang dilakukan pembentuk hukum belum maksimal. Adalah benar bahwa dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure (asas asas yang menganggap semua orang tahu hukum) atau yang bisa dikenal dengan fiksi hukum. Namun, asas ini tidak berdiri sendiri melainkan membutuhkan instrumen pendukung yakni sudah sejauhmana upaya sosialisasi telah dilakukan oleh organ negara yang bertugas untuk itu agar masyarakat patuh.

Jika dilihat dari optik teoritik, terdapat 2 (dua) madzhab teori kepatuhan yang dikenal dengan madzhab pemaksaan dan madzhab konsensus (Soerjono Soekanto). Dalam madzhab teori
pemaksaan, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas dalam proses pemaksaan. Sedangkan pada madzhab teori konsensus, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas melalui internalisasi
dalam masyarakat.

Penulis menilai, ketidakpatuhan peserta pilkada terjadi karena, baik pemaksaan maupun konsensus belum optimal berjalan. Dalam kaitannya dengan pemaksaan, pelaksanaan protokol kesehatan dalam pelaksanakan setiap tahapan pilkada (setidaknya) belum disertai dengan pelaksanaan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Demi mengurangi dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, sekali lagi, penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakukan. Pelaksanaan yang menyisakan tahap pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pemenang masih sangat potensial memunculkan kerumunan dan potensial menjadi kluster baru. Tentu bukan itu yang diharapkan. Perlu kerja sama semua pihak (penyelenggara pilkada, pengawas, peserta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyelenggarakan pilkada dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Jika perlu, berlakukan sanksi yang tegas dan sesuai dengan koridor hukum atas setiap pelanggaran oleh siapapun tanpa pandang bulu.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 7 Desember 2020.