Tag Archive for: FH UII

Masa Jabatan Legislatif

Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu. Jabatan yang tidak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih” melainkan juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Power tends to corrupt but absolut power corrupt absolutely, adalah adagium klasik yang belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang menjadi titik sentral amandemen UUD N RI Tahun 1945. Read more

Jangan ‘Hukum’ Parpo-Baru Dua Kali

Partai politik baru pasca putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tertutup kemungkinannya untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini sebagai jawaban atas uji materiil atas Pasal 173 ayat (1), Pasal 173 ayat (3), dan Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) terkait verifikasi ulang partai politik, sementara Pasal 222 berkaitan dengan dukungan partai politik untuk mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden yang hanya dimungkinkan dilakukan oleh parpol lama. Meskipun tidak bulat, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra mengajukan dissenting opinion, putusan ini menolak permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu sehingga partai politik baru kehilangan kesempatan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Read more

Putusan MK dan UU Pemilu Perlu Dikritisi

Pasal 12 huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menyusun Peraturan KPU (PKPU) untuk setiap tahapan pemilu. Kemudian pada Pasal 13 huruf c UU Pemilu ditegaskan bahwa KPU berwenang menetapkan PKPU untuk setiap tahapan pemilu. Read more

Pada Hari Jumat 6 April 2018 diadakan sosialisasi pengenalan Dosen Pembimbing Akademik (DPA) dan Asisten DPA untuk mahasiswa Program Internasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk menginformasikan beberapa mekanisme yang harus diketahui oleh mahasiswa Program Internsioanl dalam bidang akademik, salah satunya yaitu sejak awal kuliah mahasiswa harus mengenal Dosen Pembimbing Akademik (DPA) dan Pendamping Dosen Pembimbing Akademik (Co. DPA). Mahasiswa diwajibkan melakukan bimbingan akademik terlebih dahulu dengan Dosen Pembimbing Akademik sebelum menentukan mata kuliah yang akan diambil selama satu semester. Read more

Beasiswa Sekolah Advokasi Peradilan
Klinik Etik & Hukum 2018

“Membentuk Kader Advokasi Peradilan Demi Menjaga Marwah dan Kehormatan Hakim dan Peradilan”

Program Kemitraan Komisi Yudisial RI & Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Program & Peserta Terbatas
Hanya ada di 6 (Enam) Perguruan Tinggi dengan kelas tidak lebih dari 25 Peserta.

Materi Pokok Program

  1. Kajian:
    a. Etika
    b. Konsep Dasar Contempt of Court
    c. Identifikasi potensi & Perilaku Contempt of Court
  2. Laboratorium:
    a. Pelatihan Orietasi, Observasi, dan Penulisan
    b. Moot Court
  3. Praktek Pengabdian Masyarakat
    a. Orientasi dan Observasi Peradilan
    b. Kampanye Contempt of Court di Pengadilan dan Media Massa
    c. Sosialisasi Gerakan Anti Contempt of Court

Syarat Pendaftaran

  1. Mahasiswa Aktif FH UII (dibuktikan dengan FC KTM)
  2. IPK Minimal 3.00 (dibuktikan dengan KHS)
  3. Sudah/sedang Tempuh MK. H. Acara (pidana dan/atau perdata) (dibuktikan dengan KHS atau Jadwal Kuliah)
  4. Menulis Esai ajakan menolak perilaku Contempt of Court maksimal 3 halaman
  5. Mengisi Formulir Pendaftaran dan Lembar Pernyataan* bukan Peserta Program Klinik Etik & Hukum Periode 2017 dan/atau 2016

Periode Pendaftaran
Waktu: 4 April-5 Mei 2018
Tempat: Pusdiklat/ BKKA FH UII
Wawancara: 8 Mei 2018
Pengumuman: 9 Mei 2018

Contact Person
Syarif Nurhidayat: 081328786863/ Mia: 081327005613
*Form Pendaftaran dan Form Pernyataan dapat diambil
di tempat pendaftaran atau didownload

pada Law.uii.ac.id

Download

Surat pernyataan

Formulir Pendaftaran

 

Tamansiswa (05/04) Pimpinan Fakultas Hukum UII terdiri dari Dekan, Wakil Dekan, Ketua Program Studi dan Sekretaris Prodi Hukum serta seluruh civitas akademika FH UII menyelenggarakan Khatmil Quran di Masjid Al Azhar Kamis, 05 April 2018 jam 15.30- 17.00 WIB. Read more

“Mendidik” Asas Kecakapan Jiwa Raga

Cerita tentang tingginya angka perceraian di masyarakat akhir-akhir ini sudah menjadi perhatian bagi para pengamat anak, sosiolog, psikolog yang menilai bahwa salah satu faktor nya adalah masih pada umur anak-anak. Faktor kedewasaan dalam cara berpikir seseorang  menjadi penyebab perceraian, hal itu diungkapkan oleh Prof Dr. Sunyoto pakar sosiolog UGM (Koran KR edisi 3 April 2018). Diutarakan bahwa penyebab kurangnya kedewasaan itu diaplikasikan pada ke egoisan masing-masing pasangan dalam perkawinan. Sehingga ketika sikap itu timbul, maka pribadi antara pasangan suami dan istri pada usia muda tidak mampu saling menerima perbedaan. Ketidakmampuan akan kenyataan perbedaan itu yang membuat seringya konflik dalam rumah tangga. Read more

Syahdhan Dwi Rahmatulloh (Mahasiswa Fakultas Hukum UII 2015) dan Shilvi Grisminarti (Mahaiswa Fakultas Hukum UII 2016), telah mengikuti kompetisi International Market Research Competition 2018 yang dilaksanakan di 3 negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapore. Rangkaian kegiatan kompetisi ini dilaksanakan selama satu minggu dimulai dari tanggal 26 hingga 31 Maret 2018. Kompetisi ini, di dalamnya  terdapat rangkaian acara study comparative berupa kegiatan kunjungan ke beberapa instansi pemerintahan dan diskusi internasional. Read more

Dalam usianya yang ke 75 tahun, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menjadi tuan rumah penyelenggaraan Seminar Nasional dan Peluncuran Buku: Realitas dan Tantangan Konstitusionalisme HAM di Tahun Politik yang diselenggarakan atas kerjasama Pasca Sarjana dan Departemen Hukum Dasar FH UII dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII pada Sabtu, 31 Maret 2018. Seminar HAM tersebut diawali dengan keynote speech dari Kapolri Jenderal Polisi Prof. H. Muhammad Tito Karnavian Ph.D. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

“Apa dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok, harus ditunda sampai selesai pilkada?”

Itulah pertanyaan yang disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan, sejak Jumat (16-03-2018) pelan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto yang kemudiandiluruskan menjadi imbauan”kepada penegak hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agarmenundapenetapan calon kepala daerah (cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan.

Bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara. Itu bisa dilihat dari reaksi kerasyanglangsung menggema dimana-mana. Perbincangandi kampus-kampus dan di kedaikedai banyak mengupas haltersebut sebagai hal yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.

Masa, sih, penersangkaan atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Da lam pandangan hukum, secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan. Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus secepatnya ditegakkan meskipun besok pagilangitakan runtuh”. Apalagi hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsungpada 27 Juni 2018, hampirempat bulan lagi, itu.

Harus diingat bahwa Indonesia memang merupakan ne gara demokrasi (berkedaulatan rakyat) danpilkadaadalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (ber kedaulatan hukum) yang me niscayakan hukum mengawa dan meluruskansecara seketika pelaksanaan demokrasi danpenyelenggaraan negara pada umumnya. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “ke daulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan trasa dan dilaksanakan me nurut Undang-Undang Dasar (nemokrasi).

Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di da lam Pasal 1 ayat (3) yang mene gaskan, “Indonesia adalah nega ra hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegak kan sepertidua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting. Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan me nimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang.” Makna dari adagium itu, demo krasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena se muanya bisa bertindak sendirisendiri berdasar kekuatannya.

Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan men cerminkan aspirasi masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia pada umumnya dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwahukumdibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum

Berdasar konsep dasar yang seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk memben tuk hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakri Mahkamah Agung (MA) dan Mahka mah Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk terhadap pemerintah sekalipun. Jika ada kontes politik untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya kecurangan yang signifikan), nomokrasiharus beraksi untuk meluruskan nya. Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu se lesainya satuagenda politik

Kita memahami perminta an Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan konflikti dak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas opor tunitas (kemanfaatan) yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tajuan hulum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Untuk tujuan kemanfaatan, hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanyajika tidakbermanfaat, apalagi sampai mem bahayakan kelangsungan nega ra. Tapi dalam konteks yang dikemukakan Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaatantara menjadikan tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah memenuhi syarat untuk dipersangkalan? Public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan ne gara ini jika cakada yang meme nuhisyarat hukumuntuk ditersangkakan segera dijadikan tersangka.

Itulah sebabnya banyak yang memprotes dan memper tanyakan pernyataan Menko Polhukam itu. Untungnya Pak Wiranto segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi, melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak apa-apa,” kata Prik Wiranto. Nah, tinggallah kini KPK merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan langit sedang berge muruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 Maret 2018.