Tag Archive for: FH UII

Alhamdulillahirabbil’alamin. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) berhasil meraih Juara I Legal Opinion dalam kompetisi The 11th Business Law Competition: Piala Hafni Sjahruddin 2021 yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (UI).

Selamat kepada Ahmad Fajar Fawas Fadillah yang merupakam mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2018. Selamat dan semangat, semoga kemenangan ini tidak terus membuat puas, namun terus berkarya. Semoga Allah SWT, memberikan kelancaran dalam menempuh pendidikan dan dilancarkan segala urusannya.
Aaamiin Yaa Rabbal Alamin.

 

Penulis: Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Departemen Hukum Tata Negara

 

“Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya”

Advokat kondang Yusril Ihza Mahen dra membuat sebuah gebrakan dengan mengajukan permohonan pengujian peraturan (judicial review ) ke Mahkamah Agung. Adapun objek yang diuji adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Opini, koran SINDO, 28 September 2021.

Bismillahirrahmanirrahim

Berdasarkan tahapan seleksi yang telah dilaksanakan, Tim Pelaksana program Klinik Etik dan Advokasi 2021 memutuskan nama-nama yang telah lulus seleksi di bawah ini dan ditetapkan sebagai Peserta program Klinik Etik dan Advokasi 2021 kerja sama Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai berikut:

No. Calon Peserta NIM L/P
1. Galuh Audina Febrianti Purnama 18410036 P
2. Wahyuning Kiscahyani 18410140 P
3. Mahrus Ali 18410272 L
4. Ramadhani Igreya Saputra 18410377 L
5. Justika Hairani 18410506 P
6. Muchammad Kawtsar 18410524 L
7 Kurniyati Mulqiyah 19410074 P
8. M. Fernanda 19410215 L
9. Hatta Muhammad Irsyad 19410307 L
10. A. Iqbal Madani 19410344 L
11. Maghfira Yuliza Fajryani 19410382 P
12. Andini Octa Hariani 19410408 P
13. Muhammad Adhimastya 19410533 L
14. Atika Nurdzakkiyah 19410593 P
15. Eka Detik Nurwagita 19410609 P
16. Putri Pramesti 19410691 P
17. Pradja Diwangsa Sutono 20410302 L
18. Andre Bagus Saputra 20410648 L
19. Salza Farikah Aquina 20410798 P
20. Annisa Alhafiza 20410904 P

 

Mohon kepada semua peserta yang telah ditetapkan sebagai peserta Klinik Etik dan Advokasi 2021 di atas, untuk melakukan konfirmasi kepada panitia (narahubung) agar dimasukkan ke dalam grup WhatsApp peserta.

Demikian Pemberitahuan ini disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Narahubung: Mia (081327005613)

Yogyakarta, 28 September 2021

TTD

 

Panitia Seleksi

Bismillahirrahmanirrahim

Berikut kami sampaikan calon peserta program Klinik Etik dan Advokasi 2021 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang akan mengikuti seleksi wawancara oleh Tim Klinik Etik dan Advokasi 2021 sebagai berikut:

No.

Calon Peserta

NIM

Interviewer

1 Danang Hendra Krisnawan 17410490 Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.
2 Galuh Audina Febrianti Purnama 18410036
3 Yuwan Zaghlul Ismail 18410085
4 Yustisia Andhini Lintang Annisa Rizky Toewoeh 18410137
5 Atika Nurdzakkiyah 19410593
6 Muhammad Mega Firstian Utama 18410240
7 Mahrus Ali 18410272
8 Ahmad Sulthon Zainawi 20410329
9 Tirana Anggun Anugrah 18410383
10 Mutia Ufara Rahmadan 18410430
11 Intan Resti Damayart 18410432 Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M.
12 Ilham Rezki Caesar Putra 18410481
13 Justika Hairani 18410506
14 M. Dzaki Johansyah 18410522
15 Muchammad Kawtsar 18410524
16 Arrival Nur Ilahi 18410525
17 Hatta Muhammad Irsyad 19410307
18 Farah Faudyanindita Ciptahutama 19410023
19 Kurniyati Mulqiyah 19410074
20 Cheryl Ardiarini Herawati 19410082
21 Tiva Sheila Siva Kusuma 19410557 Rizky Ramadhan Baried, S.H., M.H.
22 M. Fernanda 19410215
23 Muhammad Rifaldi Rizma 19410253
24 Ijlal Anas Herlambang 18410714
25 A. Iqbal Madani 19410344
26 Maghfira Yuliza Fajryani 19410382
27 Andini Octa Hariani 19410408
28 Eka Detik Nurwagita 19410609
29 Agum Abimanyu 19410472
30 Elvira Pertiwi 20410913
31 Muhammad Adhimastya 19410533 Titie Rachmiati Poetri, S.H., M.H.
32 Saiful Fakhri Fadhila 19410213
33 Wahyuning Kiscahyani 18410140
34 Annisa Putri Larasathy 19410599
35 Wika Annisa Rodhiya 20410600
36 Dheodestu Jaqhuar Yahya 19410676
37 Putri Pramesti 19410691
38 Doni Noviantama 19410708
39 Pradja Diwangsa Sutono 20410302
40 Ramadhani Igreya Saputra 18410377 Muhammad Addi Fauzani, S.H., M.H.
41 Shidqi Prambudi 20410331
42 Herdi Nugrahadi 20410496
43 Veni Nur Setyaningsih 19410447
44 Andre Bagus Saputra 20410648
45 Salza Farikah Aquina 20410798
46 Annisa Alhafiza 20410904
47 Salsabella Sania Putri 19410513

Seleksi wawancara InsyaAllah akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Senin, 27 September 2021
Waktu : 15.10 WIB s.d selesai
Tempat : Zoom Meeting
https://uii.zoom.us/j/98523637218?pwd=NmZQV3BXUzN0K1ZJaU9UOEZzSHl4UT09
Meeting ID: 985 2363 7218
Passcode: etik

Materi wawancara mengenai:

  1. Motivasi
  2. Pengetahuan tentang PMKH (Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim)
  3. Komitmen

Peserta wajib hadir paling lambat 15 menit sebelum acara dimulai dan bagi yang tidak hadir sesuai waktu yang ditentukan, maka tidak ada wawancara susulan dan dinyatakan tidak lulus menjadi peserta Klinik Etik dan Advokasi 2021.

Demikian Pemberitahuan ini disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Narahubung: Mia (081327005613)

Wassalamu’alaikum wr.wb.
Yogyakarta, 25 September 2021

Assalamu’alaikum wr.wb

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak, Ibu dan Rekan-rekan sekalian atas partisipasi dalam kegiatan Call for Paper Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dengan tema “Pembaruan Hukum Administrasi Negara di Era Birokrasi Digital”.

Pengumuman hasil penilaian Call for Paper dapat dilihat pada tautan berikut ini:

Lihat Daftar Naskah Lolos Call for Paper

Bagi Bapak, Ibu, dan Rekan-rekan yang dinyatakan “DITERIMA” kami mohon untuk memperhatikan beberapa ketentuan yang telah panitia informasikan pada tautan tersebut.

Atas nama seluruh panitia, kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif seluruh peserta dari berbagai institusi. Kami juga memohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam proses seleksi Call for Paper ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

ttd
PANITIA

Penulis: Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh.

Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU. Hal ini tampak dari naiknya jumlah permohonan pernyataan pailit dan PKPU pada tahun 2020 yakni total 642 perkara jika dibandingkan tahun 2019 yakni 459 perkara. Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah.

Celah Hukum UU Kepailitan dan PKPU

Perkembangan penerapan Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada masa Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tren jumlah perkara kepailitan dan PKPU yang cenderung meningkat signifikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh Pengadilan Niaga (Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan) menunjukkankenaikan jumlah perkara kepailitan dan PKPU.

Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk membayar utang, kenaikan perkara itu juga akibat ketidakpastian pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU di LJK. Bentuk ketidakpastian itu berupa tumpang tindih antar peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, dan terdapat aturan yang membuka peluang pailit lebih mudah. Celah hukum ini menjadikan pernyataan pailit dan PKPU selama pandemi covid-19 sebagai jalan pintas (short-cut) untuk menagih utang.

Secara khusus permasalahan hukum Kepailitan dan PKPU di  LJK berkenaan dengan isu legal standing dari pemohon pernyataan pailit dan PKPU. Isu legal standing terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan paili dan PKPU untuk LJK. Satu sisi, ada pendapat yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah OJK, sedangkan sisi lainnya pihakyang mengajukannya adalah kreditor.

Kewenangan OJK tersebut lahir tidak dari UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU kewenangan OJK itu melekat pada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan BAPEPAM. Sejak 31 Desember 2012 melalui ketentuan peralihan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK beralih kepada OJK.

Praktiknya ini menyisakan ketidakpastian. Misalnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan masih ada di BI dan OJK. Selanjutnya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK oleh kreditur terjadi karena pemberlakuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila masyarakat atau kreditur meminta persetujuan kepada OJK dan dalam waktu sepuluh hari tidak memberikan jawaban, maka OJK dianggap setuju untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.

Optimalisasi LAPS-LJK untuk Penyelesaian Utang Piutang

Banyak perusahaan LJK yang terdampak pandemi covid-19 harus berjuang untuk dapat mempertahankan going concern perusahaan. Ini semakin berat bila memiliki utang atau kewajiban terhadap pihak lain. Pihak lain pun akan kesulitan bila ia tidak segera menerima pembayaran atas piutangnya. Bila mengandalkan bekerjanyan UU Kepailitan dan PKPU sebagai primum remedium, ini menjadi kontraproduktif. Mempertahankan going concern perusahaan LJK seharusnya masih menjadi prioritas. Mengingat halangan berprestasi yang dihadapi oleh debitur pada saat pandemi disebabkan oleh adanya kejadian di luar kemampuan debitur (change of circumstances) dan masih ada potensi kondisi perusahaan LJK dapat diperbaiki setelah pandemi covid-19 terlewati. Dengan demikian, seharusnya upaya hukum kepailitan ini hanya ditempuh sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) terhadap debitur dalam hal ada ketidakmampuan untuk pemenuhan prestasi.

Pandemi covid-19 tidak kunjung berakhir, dan upaya penanggulangannya pun belum optimal, sementara itu dampak nyata terhadap kesulitan atau kemampuan membayar debitur sudah terjadi. Untuk itu upaya penyelesaian utang piutang seyogiyanya ditempuh melalui musyawarah mufakat, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebagai media sharing the pain untuk memperoleh win-win solution. 

Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ikut menjaga kelangsungan usaha di LJK dari ancaman permohonan pernyataan pailit adalah dengan cara memaksimalkan upaya penyelesaian sengketa dengan memaksimalkan peran dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS).

Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI); Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI); Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI); Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI); Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Salah satu persyaratan sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPS adalah sengketa perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan kegiatan di sektor industri jasa keuangan. Dengan memaksimalkan peran LAPS untuk menyelesaikan sengketa keperdataan tentunya dapat mengurangi potensi adanya permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.POJK LAPS mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa (khususnya antara konsumen dengan LJK), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di LJK, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui LAPS dengan suatu prosedur tertentu.

Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPS LJK melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh LJK (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh LJK melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap LJK.

Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui LAPS. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK.

Efektifitas berlakukan LAPS-LJK akan terjadi bila OJK melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, OJK perlu mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam pengawasan LJK agar praktik-praktik penyalahgunaan LJK dapat dicegah dari awal. Kedua, OJK perlu segera bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan proaktif antara lain sosialisasi dan edukasi mengenai pranata hukum kepailitan dan PKPU LJK kepada para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas LJK secara berkelanjutan.

Tulisan ini telah dimuat dalam REPUBLIKA,  04 Juni 2021.

Senin, 20 September 2021, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) terpilih menjadi Ketua PD APHTN-HAN DIY dengan masa pengabdian 2021-2026. Ia adalah Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. yang merupakan Guru Besar Departemen Hukum Tata Negara (HTN) FH UII dan juga sebagai Dewan Penasihat Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK FH UII).

Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. selaku Direktur PSHK FH UII periode 2019-2022 dan dosen departemen HTN FH UII, berpendapat bahwa sangat menyambut baik dan apresiasi atas terpilihnya prof Nikmah sebagai Ketua PD APHTN-HAN DIY. Ia juga berharap agar Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. senantiasa diberikan kesehatan dan kesuksesan dalam menjalankan amanah sebagai ketua.

“Sebagai murid beliau, terpilihnya Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. merupakan bukti atas peran beliau dalam memajukan keilmuan HTN-HAN khususnya di wilayah DIY. Selain itu juga merupakan bukti bahwa beliau adalah sosok yang punya kapabilitas dan integritas. Semoga APHTN-HAN di DIY dapat berkiprah maju dan menjadi poros keilmuan” ujarnya.

Segenap keluarga besar FH UII mengucapkan selamat kepada Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. atas diangkatnya sebagai Ketua PD APHTN – HAN DIY dengan masa Pengabdian 5 (lima) tahun. Semoga amanah yang diembah membawa keberkahan dan dapat melebarkan kebermanfaatan dalam membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Aamiin.

Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengusung tema yaitu Evaluasi Kebijakan Fasilitas Perpajakan Di Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah.  FGD ini diadakan bertujuan untuk penelitian dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM UII).

FGD pada kali ini diisi dengan narasumber-narasumber yang ahli dibidangnya yaitu Dr. Ridwan., S.H., M.H. yang merupakan dosen FH UII, dan Prof. Jaka Sriyana, S.E., M. Si., Ph.D. ia merupakan dosen pada program studi Ekonomi Pembangunan yang juga menjabat sebagai Dekan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) Periode 2018-2022.

FGD ini dipandu oleh Siti Rahma Novikasari, S.H., M.H. dosen FH UII dari Departemen Hukum Administrasi Negara sebagai moderator. Acara ini mengundang BKAD diseluruh pulau Jawa, seperti DIY, Gresik, DKI Jakarta, dan Surabaya dan dihadiri oleh BKAD Kulon Progo, Tasik Malaya, Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul, Gresik, Surabaya, dan Bapenda DKI Jakarta.

Pada penyampaian materinya Dr. Ridwan., S.H., M.H. mengusung tema Diskresi Pemerintah Daerah dalam Mengatur Fasilitas Perpajakan. Materi beliau, sebagai berikut:

Pasal 23A UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, sementara untuk pajak daerah ditentukan dalam Pasal 286 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; “Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda”. Keharusan menetapkan dan memungut pajak dan retribusi atas dasar undang-undang ini merupakan konsekuensi logis dari negara hukum demokratis (democratische rechtsstat), konsep negara yang didesain menggabungkan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.

Diskresi Pemerintah Daerah

Kewenangan untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan, yang lazim disebut urusan rumah tangga daerah (huishouding), dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Selanjutnya, Peraturan Daerah itu dilaksanakan dengan Peraturan Kepala Daerah; Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Peraturan Walikota.

Pemberian diskresi kepada Pemerintah Daerah merupakan konsekuensi dari konsepsi negara hukum modern atau negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut atau memengaruhi negara hukum Indonesia. Konsepsi welfare state meletakkan kewajiban kepada Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada warga negara di daerah. Pemberian diskresi itu juga sebagai konsekuensi dari penerapan asas legalitas (legaliteisbeginsel) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Asas legalitas menghendaki bahwa setiap tindakan pemerintahan di bidang publik itu harus berdasarkan undang-undang atau Peraturan Daerah (wetmatigheid van bestuur).

Keharusan mendasarkan tindakan pemerintahan pada undang-undang atau Peraturan Daerah itu bukan tanpa masalah, karena undang-undang atau Peraturan Daerah sebagai hukum tertulis itu selalu tidak pernah lengkap (de wet is onvolledig), serta sering terjadi kesenjangan antara perubahan masyarakat yang cepat dengan undang-undang atau Peraturan Daerah tertentu. Akibatnya ketika pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau ada kejadian penting atau darurat, sementara undang-undang atau Peraturan Daerah yang menjadi dasar tindakan pemerintah tersebut tidak atau belum ada (leemten in het recht). Dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat menggunakan diskresi. Selain itu, diskresi juga dapat digunakan ketika undang-undang atau Peraturan Daerah tidak lengkap atau memuat norma samar (vage norm),[1] di samping itu mungkin memuat norma terbuka (open texture),[2] atau memuat norma pilihan (choice).[3]

Dalam hal-hal tersebut kepada pemerintah diberikan diskresi atau Ermessen untuk mengambil kebijakan (beleidsvrijheid) dan kebebasan menggunakan pertimbangan (beoordelingsvrijheid), menjelaskan norma undang-undang yang samar (uitleg van wettelijke voorschriften), menentukan atau menetapkan fakta-fakta (vaststelling van feiten), melakukan interpretasi (interpretatievrijheid), dan mengambil pilihan terhadap berbagai kepentingan terkait dalam memberikan pelayanan publik.[4] Dalam konteks ini berlaku prinsip dalam negara hukum modern bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada warga negara dengan alasan tidak ada Peraturan Daerah yang mengaturnya.

Diskresi Pemerintah Daerah Bidang Pajak dan Retribusi Daerah

Telah disebutkan di atas bahwa berdasarkan Pasal 286 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 “Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda”. Di dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:

  1. Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
  2. Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
  3. Asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa secara normatif Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menggunakan diskresi baik dalam bentuk kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid) dan kebebasan menggunakan pertimbangan (beoordelingsvrijheid), menjelaskan norma undang-undang atau Peraturan Daerah yang samar (uitleg van wettelijke voorschriften), menentukan atau menetapkan fakta-fakta (vaststelling van feiten), melakukan interpretasi (interpretatievrijheid), maupun mengambil pilihan terhadap berbagai kepentingan terkait dalam urusan pajak dan retribusi daerah.

Diakhir penyampaian materi, Ridwan mengungkap kata-kata pamungkas, “Secara konstitusional, yuridis, dan teoretik, negara kesatuan yang menganut desentralisasi itu, seperti halnya negara Indonesia, masing-masing Daerah Otonom diberikan kewenangan untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah secara otonom, termasuk peraturan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam rangka pelaksanaan undang-undang, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah, Pemerintah Daerah berwenang menggunakan diskresi dan membuat peraturan kebijakan (beleidsregel). Dengan berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 10 Tahun 2021, tidak ada lagi kewenangan Daerah Otonom untuk membuat Deraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, penggunaan diskresi dan peraturan kebijakan.”

Setelah itu dilanjutkan penyampaian materi oleh Prof. Jaka Sriyana, S.E., M. Si., Ph.D. yang membahas tema Kebijakan Fasilitasi Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi dan Keuangan Daerah. Beliau mengatakan mata rantai dampak pandemic Covid-19 terhadap keuangan daerah yaitu terjadinya shocks pada variabel Makro Ekonomi sehingga terjadi penurunan pendapatan RT, usaha dan penurunan penerimaan pajak, maka kemampuan dan keuangan daerah mengalami penurunan.

Fungsi pajak sendiri untuk apa?

  1. Anggaran (Budgetair)
  2. Mengatur (Regulasi)
  3. Stabilitas
  4. Retribusi Pendapatan

Selain itu, fasilitas perpajakan sendiri memiliki tujuan, sebagai berikut:

  1. Peningkatan perekonomian daerah
  2. Peningkatan penerimaan keuangan daerah
  3. Peningkatan kapasitas fisikal daerah

Tidak berhenti sampai disitu, fasilitas perpajakan juga memiliki kebermanfaatan, dari berbagai macam aspek, meliputi dari aspek azas pajak, aspek fungsi pajak, keseusaian komitmen kebijakan ekonomi, dan kinerja perekonomian daerah dan nasional.

Sebagai penutup Prof. Jaka menyampaikan beberapa hal yaitu: Kebijakan Fasilitasi Perpajakan meliputi beberapa antara lain merupakan kewenangan/deskresi masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan insentif ekonomi berjangka pendek dan jangka panjang. Kebijakan khusus dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan daerah. Memperkuat permintaan agregat melalui peningkatan pendapatan riil masyarakat dan pengusaha. Menurunkan biasa ekonomi dan sosial sehingga meningkatkan efisiensi naisonal, dan yang terakhir merupakan instrument kebijakan untuk percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.

[1] Perumusan vage normen atau norma samar akan memberikan keleluasaan pengemban kewenangan untuk menyesuaikan berlakunya norma hukum positif dalam masyarakat, akan bersifat fleksibel dalam situasi dan kondisi dimana norma hukum positif tersebut berlaku,

[2] Norma terbuka merupakan norma yang terbuka substansi atau isinya dan harus ditentukan lebih lanjut dalam pelbagai keadaan atau norma yang isinya tidak dapat ditentukan secara abstrak tetapi sangat bergantung pada keadaan kasus di mana norma tersebut diterapkan.

[3] Diisyaratkan dengan penggunaan kata ‘dapat’ atau ‘boleh berdasarkan hukum’. Kekuasaan seperti itu dicirikan oleh unsur pilihan yang diberikan kepada pemerintah, vide Cora Hoexter dan Rosemary Lyster, The New Constitutional&Administrative Law, Juta Law, Landsdowne, 2002, hlm. 25.

[4] Disarikan dari F.C.M.A. Michiels (red.), Staats-en Bestuursrecht Tekst en Materiaal, Tweedw Druk, Kluwer, Deventer, 2004, hlm. 139-140, J.B.J.M. ten Berge, op. cit., hlm. 241-24, dan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt,  Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, hlm. 163.

Penulis: Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Tanpa terasa waktu penyebaran virus covid 19 sudah berjalan hampir 2 tahun lebih di bumi pertiwi. Dalam kurun waktu ini angka kematian akibat virus covid 19 di Indonesia terus bertambah. Data terakhir dari covid19.go.id per 04 Agustus 2021 angka positif sebanyak 4.123.617 orang, angka sembuh sebanyak 3.827.449 orang, dan angka kematian sebanyak 135.469. Untuk dapat menekan persoalan ini, maka pemerintah dan masyarakat terus berupaya mengambil langkah-langkah preventif agar penyebaran virus covid 19 dapat dikendalikan dan angka kematian dapat ditekan.

Sejalan dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri peran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dielakkan dari penanganan virus covid 19. Adapun peran ilmu pengetahuan dan teknologi ini dibuktikan dengan banyaknya berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang memiliki kegunaan dalam mencegah penyebaran virus covid 19. Dari mulai ditemukannya vaksin covid 19 hingga alat kesehatan seperti masker dan sanitizer pun tidak luput dari sentuhan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya inovasi di bidang teknologi kesehatan.

Dengan adanya berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan ini, ada dua pertanyaan mendasar yang menarik untuk dikemukakan dalam konteks ini, yaitu; (1). apakah berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 layak untuk dimintakan paten di era pandemi covid 19 ini?; dan (2). apakah dengan dimintakannya paten atas berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak akan menghambat upaya pemerintah dan masyarakat dalam melakukan pencegahan virus covid 19?

Pro Kontra Paten di Era Pandemi Covid 19
Sebagaimana diketahui, paten secara konseptual dipahami sebagai hak hukum. Oleh karena, paten merupakan hak hukum, maka paten mendasarkan diri pada konsep hak. Hak di dalam hukum merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya, tetapi apabila hak tersebut tidak dituntut, maka hak tersebut pemenuhannya dilepaskan. Selanjutnya, paten sebagai hak hukum juga merupakan hak eksklusif yang diberikan atas invensi di bidang teknologi (baca: inovasi di bidang teknologi). Paten sebagai hak eksklusif yang diberikan atas invensi di bidang teknologi mengadung arti dalam tiga hal, yaitu (1). hak untuk menggunakan sendiri hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi; (2). Hak untuk mengizinkan atau mengalihkan hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi kepada orang lain; dan (3). Hak untuk melarang orang lain menggunakan hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi. Atas dasar hal ini, maka penggunaan hak eksklusif atas invensi di bidang teknologi ini harus benar-benar sejalan dengan pengakuan dan penghormatan dari si pemilik hak (baca: pemegang paten) tersebut serta peraturan perundang-undangan dalam bidang paten yang berlaku.

Di era pandemi covid 19, realitas masyarakat dalam mensikapi paten ini telah melahirkan pro dan kontra. Dari kelompok masyarakat yang pro berpandangan bahwa paten di era pandemi covid 19 merupakan hal penting dalam konteks inovasi di bidang teknologi kesehatan saat ini. Adapun alasannya, hal ini dapat mencegah timbulnya produk-produk palsu dari pelanggaran paten. Sementara itu dari kelompok masyarakat yang kontra berpandangan bahwa paten di era pandemi covid 19 merupakan hal yang tidak diperlukan dalam konteks inovasi di bidang teknologi kesehatan. Adapun alasannya, hal ini dikhawatirkan akan menghambat bagi upaya memanfaatkan hasil inovasi di bidang teknologi kesehatan untuk upaya pencegahan virus covid 19.

Paten dan Pencegahan Virus Covid 19
Dengan banyak inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 dihasilkan, maka pada dasarnya inovasi di bidang teknologi kesehatan ini dapat saja dimintakan patennya kepada negara atau dapat juga dilepaskan untuk tidak dimintakan patennya kepada negara. Dua tindakan ini dibenarkan, karena UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten) pada kenyataannya memang tidak pernah mengatur bahwa meminta paten kepada negara merupakan suatu kewajiban hukum bagi inovator, tetapi justru didudukkan sebagai suatu hak bagi inovator.

Ketika inovasi di bidang teknologi kesehatan dimintakan patennya kepada negara oleh inovator, maka inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 harusnya dapat diberikan paten–apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU Paten. Pada saat paten itu diberikan oleh negara, maka pada saat itulah inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 memuat hak eksklusif. Hal ini berlaku sebaliknya apabila inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak dimintakan patennya kepada negara oleh inovator, maka inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak akan memuat hak eksklusif.

Dalam konteks melekatnya paten sebagai hak eksklusif pada inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka hal ini tidaklah akan menghambat bagi upaya pemanfaatan inovasi tersebut guna mencegah virus covid 19. Adapun argumentasinya ada tiga, yaitu: Pertama, dengan paten yang melekat pada inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka bisa saja pemegang paten tersebut memberikan izin kepada beberapa perusahaan teknologi kesehatan untuk memproduksi inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tanpa harus berlaku komersial, semisal melepaskan hak royalty dari paten atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19. Hal ini tentunya, akan terjadi apabila si pemegang paten benar-benar memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi atas pandemi covid 19. Hal ini telah terjadi terkait penggunaan paten vaksin AstraZeneca, di mana pemegang patennya melepaskan hak royalti.

Kedua, apabila si pemegang paten tidak memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi atas pandemi covid 19 dan cenderung ingin mengambil keuntungan ekonomi yang tinggi dari situasi pandemi covid 19, maka pemanfaatan paten ini masih akan dapat dilakukan dengan cara menerapkan kelonggaran (fleksibilitas) yang tertuang di dalam UU Paten di antaranya melalui lisensi wajib dan pelaksanaan paten oleh pemerintah. Hal ini biasanya dilakukan karena adanya kepentingan masyarakat yang sangat mendesak atau penggunaan paten oleh pemegangnya yang dapat merugikan kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga dalam konteks ini, negara ikut campur tangan melalui UU Paten terkait dengan pemanfaatan paten di mana kepentingan masyarakat menjadi hal yang harus diutamakan daripada kepentingan pemegang paten itu sendiri. Ketiga, dengan adanya paten sebagai hak eksklusif atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka hal ini, di satu sisi dapat menjamin hadirnya produk asli yang akan efektif dalam mencegah penyebaran virus covid 19; dan di sisi lain dapat meminimalisir penyebaran produk-produk palsu yang bisa jadi justru akan memperburuk penyebaran virus covid 19.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa ketika ada inovator menghasilkan inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 dan selanjutnya inovator tersebut mendaftarkan paten kepada negara, dan patennya diperoleh, maka dapat dipastikan paten yang diperoleh tersebut tidaklah akan menghambat upaya pemerintah maupun masyarakat dalam melakukan pencegahan virus covid-19. Bahkan, dengan diperolehnya paten atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 justru dapat dijadikan sarana efektif guna melakukan upaya pencegahan virus covid 19 di bumi pertiwi ini. Wallahu’alam bis Shawab.

Tulisan ini telah dimuat dalam narasidesa.com, 09 September 2021.

 

Penyerahan Education Kit oleh Dekan dengan didampingi Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Fakultas HukumUII

Taman Siswa – Selasa, 07 September 2021 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) melaksanakan acara Pelepasan Mahasiswa Program Mobilias Internasional 2O2l ke Youngsan University, University of Sussex, University of Warsaw. Acara tersebut dilaksanakan secara daring maupun luring. Luring dihadiri oleh Dekan, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan, Ketua Program Studi, Sekretaris Program Studi Reguler Program Sarjana, Sekretaris Program Studi Internasional Program Sarjana FH UII, dan dua perwakilan mahasiswa yang mengikuti Program Mobility International. Juga turut hadir pada acara pelepasan tersebut dosen-dosen FH UII, Direktur Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII yaitu Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A., orang tua serta wali mahasiswa-mahasiswi, dan mahasiswa-mahasiswi yang mengikuti Program Mobility International tersebut meskipun secara daring melalui media Zoom Meeting. Acara tersebut juga disiarkan live streaming melalui Youtube FH UII. Pelepasan Mahasiswa Program Mobilias Internasional 2O2l tersebut berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) jam.

International Mobility Program FH UII pada tahun 2021 tidak hanya melaksanakan program Outbond Mobility namun juga program Inbound Mobility. Program Outbond Mobility yaitu Joint Degree Program Students, dan Credit Transfer Program Student. Dan Inbound Mobility adalah Full Degree Program Student, dan Credit Transfer Program Student. Pada tahun ajaran 2021/2021 program Inbound Mobility, FH UII menerima Full Degree Program Student 1 (satu) mahasiswa dari Ghana, dan Credit Transfer Program Student 2 (dua) mahasiswa dari Malaysia dan ACICIS, Australia. Lalu untuk Program Outbond Mobility, Joint Degree Program Students, FH UII mengirimkan 2 (dua) mahasiswa ke Youngsan University.

Program Credit Transfer Program Student FH UII mengirimkan 3(tiga) mahasiswa ke Youngsan University. Mahasiswa tersebut adalah Akhiruddin Syahputra Lubis (IP FH UII Angkatan 2018) dengan IPK 3.81, Egita Fira Widya (IP FH UII Angkatan 2018) dengan IPK 3.74, dan Aryana Sekar Widyaningsih (IP FH UII Angkatan 2018) dengan IPK 3.95. Selanjutnya FH UII mengirimkan 1 (satu) mahasiswa ke University of Sussex, dia adalah Annisa Aulya Putri (IP FH UII Angkatan 2018) dengan raihan IPK 3.89, dan Muhammad Fadel Roihan Baabud (Program Reguler, FH UII Angkatan 2018) dengan IPK 3.41 yang merupakan perwakilan FH UII ke University of Warsaw, Poland.

Acara tersebut dibuka secara resmi dibuka oleh Dodik Setiawan Nur Heriyanto, LL.M., Ph.D.  selaku Sekretaris Program Studi Program Internasional, Program Sarjana FH UII. Dalam sambutannya, Dodik mengatakan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam program International Mobility ini telah memberikan kemudahan terkait visa dan juga kepengurusan paspor.

“Mahasiswa-mahasiswi yang berangkat telah mengikuti Persiapan Keberangkatan selama dua hari penuh yang diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Khususnya mahasiswa yang akan berangkat ke Korea Selatan, sudah dibekali informasi dan aplikasi-aplikasi apa saja yang harus diinstall sehingga mereka dapat menegtahui dimana lokasi-lokasi dimana tidak ada pasien pengidap Covid-19 dan area-area jalan yang dapat dilewati.” ujarnya.

Dialnjutkan sambutan perpisahan dari perwakilan mahasiswa, yaitu Aryana Sekar Widyaningsih (IP FH UII Angkatan 2018). Aryana memberikan sambutan dalam bahasa inggris. Ia mengatakan keluarga kami, teman-teman kami, mohon doakan kami. Ia juga menyampaikan terima kasih kepada FH UII telah mengadakan program ini dan memfasilitasi.

Acara ini juga diisi sambutan sekaligus pelepasan oleh Dekan FH UII, Pak Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H.

“Program Double Degree Credit Transfer untuk program sarjana sudah berlangsung 2 tahun ini, untuk Double Degree Magister Hukum sudah masuk tahun ketiga, insyAllah ini terus akan kita laksanakan. Semoga program ini terus berlanjut.” ujar Dekan dalam sambutannya.

Dekan FH UII, berharap Program Credit Transfer tahun depan akan lebih luas lagi jangkauannya, dan bisa diikuti oleh lebih banyak lagi mahasiswa Fakultas Hukum. Dalam sambutannya beliau juga menyampaikan pesan-pesan kepada mahasiswa yang mengikuti program ini yaitu untuk menjaga nama baik FH UII, karena citra baik ditentukan oleh prilaku dan komitmen teman-teman mahasiswa yang ikut pada program ini. Dan kenalkan FH UII di kanca dunia.

Tidak lupa Dekan FH UII, mengucapkan terima kasih kepada orang tua atas dukungan para orang tua serta wali mahasiswa. Orang tua serta wali mahasiswa yang telah mendukung putra putrinya dengan mengijinkan untuk mengikuti Program Mobility International pada tahun ini, semoga ini dapat disebarkan agar lebih banyak lagi yang mengikuti Program Mobility International.

“Terima terima kasih juga kepada pihak-pihak yang membantu pada program ini dapat berjalan lancar. Mari kita doakan mahasiswa kita semoga diberi barokah, dilancar dari mulai berangkat sampai dengan selesai, dan bisa membanggakan kita semua.” Jelas Dekan FH UII.

Acara Pelepasan Mahasiswa Program Mobilias Internasional 2O2l ke Youngsan University, University of Sussex, University of Warsaw ditutup dengan pembacaan doa yang dibacakan oleh Bagya Agung Prabowo, S.H., M.Hum, Ph. D selaku Sekretaris Jurusan FH UII.

Sambutan perpisahan dari Mahasiswa Program Internasional Mobility

Penyerahan Health Kit oleh Kaprodi dengan didampingi oleh masing-masing Sekprodi FH UII

Sambutan dari Sekretaris Program Studi Program Internasional Program Sarjana  FH UII

Sambutan sekaligus pelepasan oleh Dekan FH UII

Doa Bersama oleh Sekretaris Jurusan FH UII