Tag Archive for: Pusat Hak Kekayaan Intelektual

 Oleh: Budi Agus Riswandi [2]

Pendahuluan

            Lahirnya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah melahirkan harapan baru bagi para penulis buku terkait dengan manfaat hukum dan ekonomi yang akan diperoleh.[3] Adapun manfaat hukum, yakni berupa perlindungan hak cipta yang lebih efektif[4], sedangkan manfaat ekonomi berupa terbukanya peluang untuk mengeksploitasi nilai ekonomi yang ada di dalam ciptaan buku yang dilindungi hak cipta.[5]

Namun demikian, agar harapan penulis buku ini dapat diwujudkan, maka kehadiran UU No. 28 Tahun 2014 saja belum cukup, namun harus didukung dengan pemahaman dan kemampuan para penulis buku berkenaan dengan siklus tata kelola hak cipta (buku). Siklus tata kelola hak cipta (buku) sendiri kalau dilihat dari perspektif penulis bertumpu pada tiga aspek utama, yaitu; kreatifitas, eksklusifitas dan insentif.

 

 

Siklus Tata Kelola Hak Cipta Buku

            Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan[6], hak cipta sendiri merupakan hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud[7] (intangible assets). Oleh karena hak cipta dapat dimakna sebagai hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud, maka tidak mengherankan apabila hak cipta diperlukan untuk dikelola[8]. Dari sini tata kelola hak cipta menjadi sangat penting. Tata kelola hak cipta sendiri bertumpu pada tiga aspek, yakni kreativitas, eksklusivitas dan insentif atas karya. Ketiga aspek ini dalam hubungannya terjadi dalam bentuk siklus. Siklus tata kelola hak cipta dimulai dari kreativitas, eksklusivitas dan insentif atas karya.

Kreativitas karya adalah siklus pertama dalam tata kelola hak cipta. Kreativitas karya adalah suatu karya yang memiliki tingkat orisinalitas tertentu. Sebagaimana diketahui, orisinalitas terkait dengan benarkah si pencipta membuat karya tersebut.[9] Maka dalam konteks ini, menilai suatu karya itu orisinal atau tidak sangat tergantung dengan kebenaran dari para pencipta membuat karya tersebut. Ada dua kemungkinan dalam menetapkan suatu karya orisinal atau tidak. Pertama, jika para pencipta memiliki bukti yang kuat telah membuat karya, maka karya tersebut orisinal; dan Kedua, jika beberapa pencipta memiliki bukti kuat dan beberapa pencipta tidak memiliki bukti kuat, maka beberapa pencipta yang tidak memiliki bukti kuat karyanya akan dianggap tidak orisinal.

Dari pemahaman ini, maka untuk yang penetapan pertama, hal tersebut hanya akan berakibat kepada tinggi dan rendahnya kreativitas. Apabila perwujudannya beda sama sekali, maka karya tersebut akan dianggap tinggi kreativitas, tetapi apabila perwujudannya sama, maka karya tersebut akan dianggap rendah kreativitas. Sementara itu, apabila beberapa pencipta tidak memiliki bukti kuat, maka hal tersebut akan berakibat pada pelanggaran hak cipta atas suatu karya.

Siklus kedua dari tata kelola hak cipta yaitu eksklusivitas karya. Eksklusivitas karya adalah suatu karya diciptakan dan telah memenuhi persyaratan fiksasi, orisinalitas dan kreativitas dan terdapat di lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra, maka secara otomatically melahirkan hak cipta. Dengan lahirnya hak cipta, maka melahirkan hak eksklusif. Hak eksklusif ini memuat dua macam hak, yakni; hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri si pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari karya yang dilindungi hak cipta. Dalam hal penggunan hak cipta ini, maka tidak boleh pihak lain menggunakan hak cipta tersebut baik tanpa izin atau melawan hokum. Dari situasi ini, maka nilai eksklusivitas dari suatu karya dapat diwujudkan.

Sementara itu, insentif karya merupakan konsekuensi dari karya yang mengandung unsur kreativitas dan eksklusivitas. [10]  Insentif sendiri dapat berupa nilai ekonomi. Nilai ekonomi ini dapat diwujudkan dalam bentuk uang. Lazimnya, suatu karya yang dilindungi hak cipta dapat diambil insentifnya apabila dilakukan dengan cara dilisensikan atau diperjualbelikan.[11] Dari adanya kegiatan lisensi atau jual beli karya yang dilindungi hak cipta, maka akan menghasilkan nilai ekonomi berupa uang. Di sinilah letak dari insentif atas suatu karya yang mengandung unsure kreativitas dan eksklusivitas.

Setelah memahami siklus tata kelola hak cipta, maka karya buku-pun merupakan karya yang harus didekati dengan siklus tata kelola hak cipta.[12] Sebagaimana diketahui karya buku pada dasarnya memuat hak cipta. Oleh karena itu, buku tersebut harusnya dapat diperlakuan juga siklus tata kelola hak cipta. Siklus tata kelola hak cipta buku dapat mengacu kepada uraian di atas.

 

Implikasi Tata Kelola Hak Cipta (Buku)

Melihat pada siklus tata kelola hak cipta buku, maka tata kelola ini pada dasarnya sangat penting untuk menjamin keberlanjutkan atas munculnya karya-karya buku. Di samping itu, siklus tata kelola hak cipta buku jika diimplementasikan oleh para penulis buku dapat berimplikasi kepada  moral, hokum, ekonomi dan sosial.

Siklus tata kelola hak cipta buku dapat berimplikasi pertama pada moral dapat dilihat dengan memperhatikan pentingnya membuat karya buku yang didasarkan pada nilai-nilai orisinalitas. Dengan memperhatikan nilai orisinalitas, maka karya buku yang dihasilkan dapat terhindar dari segi tindakan plagiarism. Tindakan plagiarism sendiri hakekatnya suatu perbuatan yang secara moral terlarang. Oleh karenanya, siklus tata kelola hak cipta buku pada akhirnya dapat berimplikasi pada moral dari penulis.

Implikasi kedua dari siklus tata kelola hak cipta buku berimplikasi pada hukum. Dengan diterapkannya siklus tata kelola hak cipta buku, — di mana salah satunya memperhatikan soal eksklusivitas karya, maka hal ini tentunya akan berdampak pada perlindungan hokum atas karya buku yang efektif. Bagaimanapun, eksklusivitas karya menegaskan kepada orang lain bahwa karya tersebut tidak boleh digunakan oleh pihak-pihak lain baik tanpa izin atau melawan hokum.

Implikasi ekonomi merupakan implikasi berikutnya dari siklus tata kelola hak cipta buku. Sebagaimana diketahui, buku merupakan karya yang dapat dieksploitasi secara ekonomi melalui penggandaan, pengumuman, dan pengadaptasian.[13] Dengan karya buku dieksploitasi secara ekonomi, maka manfaat ekonomi akan dapat dihasilkan oleh penulis. Manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dalam bentuk uang pada akhirnya diharapkan dapat mensejahterakan kondisi ekonomi dari penulis itu sendiri.

Implikasi yang lain dari siklus tata kelola hak cipta buku berupa implikasi sosial. Siklus tata kelola hak cipta buku apabila ditelusuri lebih jauh, hal ini juga akan berimplikasi pada hubungan antara penulis dan pihak-pihak terkait/ pemangku kepentingan lainnya. Dengan adanya hubungan yang baik antara penulis dengan pemangku kepentingan, maka secara sosial siklus tata kelola hak cipta buku telah menyuguhkan implikias sosial.

 

Kesimpulan

Siklus tata kelola hak cipta buku memuat aspek kreativitas, eksklusivitas dan insentif. Tiap aspek ini saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila siklus tata kelola hak cipta buku diimplementasikan, maka aka nada proses berkelanjutan dari buku itu sendiri. Implikasi dari siklus tata kelola hak cipta buku berupa implikasi moral, hokum, ekonomi dan sosial.

 

Daftar Pustaka

Arthur R Miller dan Michael H Davis, Intellectual Property Patent, Trademarks, and copyright, St. Paul Minnesota: West Publishing Companym 1984.

David Brainbridge, Intellectual Property, England: Pitman Publishing, 1999.

M Hawin dan Budi Agus Riswandi, Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.

Robert C. Megantz, How to License Technology, Singapore: John Wiley & Sons, INC, 1996.

Simon Stokes, Digital Copyright Law and Practice, London : Butterworths, 2002.

Yusron Isnaeni, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hk Cipta

 

[1] Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan Tema Sistem Pemungutan Royalti di Bidang Literasi yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Hotel Tentrem, Selasa 27 Maret 2018.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Ketua Umum Asosiasi Sentra Kekayaan Intelektual Indonesia (ASKII)

[3] Salah satu aturan hak cipta yang tertuang di dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang sifatnya memberikan harapan baru dalam bentuk harapan hokum dan ekonomi terkait dengan pengaturan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Di dalam UU No. 28 Tahun 2014, masalah LMK telah mendapatkan pengaturan secara detail dan lebih jelas daripada yang diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2002.

[4] Aspek yang dilindungi dari hak cipta berupa hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta berupa hak paternity dan integrity, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaatkan ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta.

[5] David Bainbridge menyatakan:”Copyright provides a very useful and effective way of exploiting a works economically. It provides a mechanism for allocation of risks and income derived from the sale of the work. Lihat David Brainbridge, Intellectual Property, England: Pitman Publishing, 1999, hlm. 36.

[6] Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[7] Pasal 16 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[8] Pengelolaan hak cipta merupakan bagian yang tidak terpisah dari ilmu mengenai manajemen kekayaan intelektual.

[9] Arthur R Miller dan Michael H Davis menyatakan:”Originality does not imply novelty, it only implies that copyright claimant did not copy from someone else.” Lihat Arthur R Miller dan Michael H Davis, Intellectual Property Patent, Trademarks, and copyright, St. Paul Minnesota: West Publishing Companym 1984, hlm. 289.

[10] Gagasan ini merujuk pada teori perlindungan hak cipta yang dikenal dengan insentive theory. Menurut insentive theory bahwa perlindungan hak cipta merupakan insentif ekonomi yang diberikan kepada pencipta dalam rangka mendorong pencipta untuk dapat menginvestasikan waktu, usaha, keahlian dan segala sumber daya yang dimilikinya untuk proses membuat suatu kreativitas. Budi Agus Riswandi, “Catatan Pengaturan Manajemen Informasi Hak Cipta, Informasi elektronik Hak Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi di dalam UU No. 28 Tahun 2014,” dalam M Hawin dan Budi Agus Riswandi, Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017, hlm. 125.

[11] Mengeksploitasi kekayaan intelektual secara ekonomi termasuk hak cipta dapat dilakukan dengan cara new venture, acquisition, joint venture, licesing, strategic alliance dan sale. Robert C. Megantz, How to License Technology, Singapore: John Wiley & Sons, INC, 1996, hlm. 1-3.

[12] Karya buku yang dilindungi oleh hak cipta pada dasarnya berupa ekspresi ide dari karya sastra, di mana dapat berupa karya ilmiah, puisi, gambar, legenda dan sebagainya. Karya sastra yang dituangkan ke dalam bentuk buku termasuk yang dilindungi hak cipta. Namun demikian, karya-karya lain yang dilindungi hak cipta tidak hanya berupa karya sastra, tetapi karya dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan termasuk dilindungi hak cipta juga. Di Inggris karya yang dilindungi hak cipta berdasarkan the Copyright, Designs and Patent Act 1988 (CDPA) terdiri dari: orginal literary works; original dramatic works; original artistic works; sound recordings, film, broadcasts and cable programmes; and the typographical arrangement of published edition. Lihat Simon Stokes, Digital Copyright Law and Practice, London : Butterworths, 2002, hlm. 24

[13] Mekanisme ini dikenal dengan eksploitasi hak-hak pencipta. Beberapa hak pencipta yang dapat ditarik keuntungan ekonominya berupa: hak reproduksi, hak adaptasi, hak distribusi, hak pertunjukan, hak penyiaran, hak program kabel, droit de suite, dan hak pinjam masyarakat. Lihat penjelasan lebih detail dalam Yusron Isnaeni, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 20-21.

Pemerintah beranggapan bahwa tahun 2017 merupakan masa keemasan riset Indonesia. Faktor yang mendorong anggapan tersebut karena pemerintah satu tahun yang lalu telah menerbitkan PMK No. 106/PMK.02/2016 mengenai riset berbasis standar biaya  luaran, di mana hal ini merupakan strategi riset baru yang berbeda dengan strategi riset sebeumnya. Lalu pertanyaannya, apakah benar strategi riset baru ini dapat mendorong masa keemasan riset Indonesia?

Strategi Luaran

Semenjak pemerintah menerbitkan PMK No. 106/PMK.02/2016, riset Indonesia telah ditetapkan strategi riset berbasis pada Standar Biaya Luaran. Artinya, riset yang dilakukan di Indonesia tidak lagi berfokus pada bentuk laporan tertib administrasi, namun lebih mengedepankan hasil berupa output. Adapun output tersebut dapat berupa jurnal, paten dan seterusnya.

Untuk menunjang strategi riset berbasis pada standar biaya luaran ini, pemerintah pada tahun 2017 juga telah mengelontorkan anggaran sebesar 1, 395 Triliun. Selain itu ada penambahan alokasi untuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum sebesar Rp 380,4 miliar dan dana pengabdian kepada masyarakat senilai 150 miliar.

Dengan adanya perubahan strategi riset yang dilakukan ini, maka sebenarnya riset di Indonesia, baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya diharapkan ke depan dapat mendorong penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahan dan teknologi untuk dapat memecahkan problem-problem sosial atau teknologi yang ada di masyarakat. Ujungnya, bangsa Indonesia dapat mencapai kemajuan dan daya saing yang tinggi melalui hasil-hasil risetnya.

Riset yang Tidak Berstrategi

Pasca diterbitkannya PMK dan melihat kepada praktek riset di perguruan tinggi atau lembaga penelitian, maka dapat ditemukan bahwa riset di Indonesia memiliki tiga strategi luaran yang diharapkan, yakni; Pertama, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa publikasi internasional atau konfrensi internasional; Kedua, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa kekayaan intelektual yang dimanfaatkan oleh masyarkat, di mana peneliti atau PT dan lembaga penelitian yang melakukan hal tersebut; dan Ketiga, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa kekayaan intelektual yang dimanfaatkan oleh masyarakat melalui peran sentra kekayaan intelektual.

Dari ketiga strategi riset ini dalam praktek, nampaknya pemerintah atau PT dan Lembaga penelitian lebih cenderung mendorong strategi luaran hasil riset itu berupa publikasi internasional. Bahkan tidak tanggung-tanggung pemerintah dalam hal usulan penelitian yang didanai oleh pemerintah “mewajibkan” agar riset tersebut luarannya berupa jurnal internasional. Sejalan dengan itu, soal kenaikan jabatan guru besar pun, pemerintah nampaknya kuat sekali menentukan kebijakannya dengan cara “mewajibkan” agar dosen yang memiliki niat untuk menjadi guru besar harus memiliki jurnal internasional terindeks scopus. 

Dengan adanya strategi pemerintah tersebut, konsekuensinya hasil riset hanya dapat dinikmati oleh pemerintah dan sesama peneliti. Betapa tidak, hasil riset yang dipublikasikan melalui jurnal internasional sebenarnya dinikmati pemerintah untuk “mencitrakan” bahwa Negara sudah mampu mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan dinikmati oleh sesama peneliti dimana hasil riset itu hanya diperlakukan dalam rangka sitasi atar sesama peneliti.

Di samping tidak banyak pihak yang dapat menikmati hasil riset dengan strategi luaran jurnal internasional,  ternyata strategi ini memiliki beberapa kelemahan, yakni; Pertama, sadar atau tidak dengan hanya mendorong riset melalui strategi luaran jurnal internasional, maka sesungguhnya peneliti Indonesia sedang didorong untuk ”obral” hasil-hasil riset mereka, tanpa difikirkan sisi proteksi hasil risetnya itu sendiri; dan Kedua, sadar atau tidak riset melalui strategi luaran berupa jurnal internasional sesungguhnya peneliti sedang dijauhkan untuk memecahkan problem-problem riil sosial dan teknologi yang dihadapi oleh masyarakat. Dari semua ini, maka wajar dikatakan apabila riset yang didorong oleh pemerintah hakekatnya tidak memiliki strategi yang efektif untuk memajukan bangsa secara keseluruhan. Singkatnya, masa keemasan riset Indonesia hanya akan menjadi angan-angan belaka.

 

Strategi Peran Sentra Kekayaan Intelektual

Melihat atas beberapa kelemahan dari strategi riset Indonesia di atas, maka hal ini harusnya mendorong pemerintah untuk meninjau ulang strategi riset yang dilakukan selama ini. Pemerintah harusnya mulai memikirkan strategi yang komprehensif, di mana riset yang dilakukan harus didorong mampu memberikan manfaat baik kepada peneliti, industry, masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Untuk maskud ini, maka riset dengan menggunakan strategi luaran hasil riset berupa kekayaan intelektual melalui peran sentra kekayaan intelektual dapat menjadi pilihan strategis. Adapun nilai strategisnya, yakni; Pertama, hasil riset PT/lembaga penelitian akan mendapatkan proteksi yang efektif dan efesien; Kedua,  hasil riset dapat dilakukan hilirasi melalui penanganan yang professional melalui peran sentra kekayaan intelektual; Ketiga, hasil riset tidak akan terhambat untuk tetap dapat dilakukan publikasi internasional; dan Keempat, hasil riset dapat mengangkat citra Negara baik dari sisi publikasi internasional maupun kekayaan intelektual lainnya, semisal paten.

Sesungguhnya, pilihan pemerintah untuk mendorong strategi luaran hasil riset seperti ini sudah ada embrionya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang tertuang di dalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2002. Intinya dari ketentuan tersebut adalah; Pertama, hasil riset harus disebarluaskan dan dilindungi kekayaan intelektualnya; Kedua, hasil riset harus dikelola melalui sentra kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pemerintah dalam konteks ini hanya perlu lebih serius mengembangkan strategi ini apabila hasil riset di Indonesia diharapkan dapat memajukan dan meningkatkan daya saing bangsa. Dari strategi ini harapan masa keemasan riset tentunya ada dihadapan mata kita. Wallahu’alam bis shawab.

 

Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum

Direktur Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta dan Ketua Umum Asosiasi Sentra

Kekayaan Intelektual Indonesia (ASKII)

 

The Indonesian government has implemented the replacement of Law No. 14 of 2001 concerning Patent to become Law no. 13 of 2016 on Patents since one year ago. The substitution of this law is an effort of a preference approach to the National interests of Indonesia without violating international principles. From this replacement of this law, the Law no. 13 of 2016 focus on the regulation in a way how Indonesia can be more real in implementing technology transfer activities among parties within the country including foreign parties and domestic and vice versa. With the transfer of technology, it is expected thatthe acceleration of the nation’s competitiveness can be realized soon.

 

Transfer of Technology Policy in Indonesia

 

Indonesia is a country that currently has not optimally encouraged the development of technology towards the improvement of the mastery and utilization of technology. This in turn has an impact on Indonesia’s weak competitiveness. This can be seen from the 2017 Global Innovation Index report. Indonesia’s innovation ranking is in position 87 of 127 countries. In ASEAN region, Indonesia’s position is far below Malaysia which is in position 37 and Vietnam at rank 47. Based on Global Competitiveness Index data from World Economic Forum 2016-2017, Indonesia ranked 41st from 138 countries with pillar of innovation ranked 31, in subpillar innovation capacity Indonesia ranked 32nd, while in subpillar of high-tech government spending Indonesia ranked 12th, and the Indonesia rank for international patent subpillar was 99th.

 

From the data above, shows the development of Indonesian technology has not shown the encouraging condition. As for many causes, for instanse, the matter on transfer of technology policy in Indonesia has not real and progressive. Some policies have been used as a legal basis to encourage transfer of technology, such as; the Law no. 25 Year 2007 regarding Investment and the Law no. 18 of 2002 on National System of Research, Development and Application of Science and Technology. In Article 10 paragraph (4) of Law no. 25 Year 2007 states: “Investment companies employing foreign workers are required to conduct training and transfer of technology to Indonesian citizens in accordance with the provisions of applicable legislation.” Furthermore, in Article 16 paragraph (1) of Law no. 18 Year 2002 states: Universities and R & D institutions shall seek the transfer of intellectual property technology and the results of research and development activities, fully or partially funded by the government and / or local governments to enterprises, governments or the public to the extent not incompatible with public order and regulation.”

 

Looking at the two policies mentioned above, the government actually has a “political will” to require the implementation of transfer of technology in order to encourage the parties to master the technology either from abroad or domestic. However, those transfer of technology policiesapparantly have two weaknesses; First, the notion of technology in transfer of technology tends to have unclear meaning and seems to cover broad meaning. Therefore, the meaning of technology can be interpreted obsolete technology, current or certain period of time. Supposed the meaning of technology is interpreted as obsolete technology, thusit will be very detrimental to the National interests of the Indonesian. The Indonesian nation, therefore, will not be able to realize its competitiveness through the role of technology; and Secondly, although the transfer of technology policiescover the legal obligation, it turns out that the legal obligation is not followed by sanction or it can be said as “toothless tiger”. When the parties are expected to do transfer technology, but the fact they ignore it, it seems the policies have lack of legal enforcement. This is likely to create “not-serious condition” in implementation of transfer of technology policies for the parties who mastered the technology in Indonesia.

 

Patent Law: The Breakthrough for Transfer of Technology Policy

Recognizing that transfer of technology policy in Indonesia has not been able to encourage the process of control and use of technology, therefore the government of Indonesia took another breakthroughin 2016, by accommodatingthe transfer of technology policy in Law no. 13 of 2016 on Patents. The provision of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016 are a proof of a very progressive breakthrough in driving the realization process of transfer of technology in Indonesia. Article 20 states: (1). “The patent holder is obligated to manufacture the product or use the process in Indonesia.” (2). Making the product or using the process referred to in paragraph (1) shall support the transfer of technology, the absorption of investment and / or the provision of employment.”Meanwhile, Article 132 paragraph (1) letter e and (4) of Law no. 13 of 2016 states: “(1). The abolishment of a patent based on a court decision as referred to in Article 130 letter b is performed if: … e. the patent holder violates the provisions referred to in Article 20.” While the paragraph (4) rules that The lawsuit for deletion as referred to in paragraph (1) letter d and e is filed by a prosecutor or other party representing the national interest to the patent holder or licensee shall be obliged to the Commercial Court.

On the basis of the provisions of Article 20 and Article 132, the commitment and the government’s willingness for the transfer of technology in Indonesia has been expressed very strong and progressive. Perhaps it can be seen from the substance of the articles that link patent provisions and transfer of technology, which the articles do not encourage the obligation of transfer of technology, but the impulse is also accompanied by the threat of sanctions to the parties who have no political will to do transfer of technology. The sanction given is not half-hearted which is the removal of the patent itself as a form of control over the exclusivity of the invention held by the patent holder.

 

Idealization of Government Attitudes

The presence of government breakthrough to push transfer of technology through adoption of its policy in Article 20 and Article 132 Law No. 13 Year 2016 apparently has caused a pro and contra reaction. The reaction have been counterproductive especially from the patent holders from abroad who in fact were the investor. This counter-foreign attitude has not only been done by investors but also involved their leaders. The reason was that the provisions of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016 is considered as an obstacle to the investment they have, are and will do.

With the persistence of foreign pressure to the government concerning the provisions of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016, the government seems to experience “chaos” commitment. This disorder can be seen that the government has responded the foreign pressure at the beginning by planning the drafting of Government Regulation (RPP). However, along with the development of time, the the plan has been shifted into a plan to amend Article 20 and Article 132 Law no. 13 of 2016.

The government attitude as explained above seems to be very apprehensive. The the government indeed should have independence in policy making, nevertheless it is shaken by the insistence of foreign parties because it is considered to inhibit their investment. Supposedly, if the government is objective, then before making amendments to Article 20 and Article 132, it is appropriate to do two things; First, the government must have objective and valid data related to transfer of technology in Indonesia. This data may be requested by the government to parties who have been considered to master of the technology, especially from foreign parties; Secondly, the government should be able to request a transfer of technology from technology rulers who can promote the competitiveness of the Indonesian nation.

 

Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum

Director of Intellectual Property Rights Center

Faculty of Law UII Yogyakarta

and Chairman of the Association of Indonesian Intellectual Property Center (ASKII)

Ekonomi kreatif saat ini benar-benar sedang menjadi perhatian pemerintah. Hal ini disebabkan beberapa alasan, pertama, ekonomi kreatif diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2007 Penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja dengan tingkat partsipasi 5,8% kedua, ekonomi kreatif diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Rata-rata Kontribusi PDB Industri  Kreatif Tahun 2002-2006 berdasarkan harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 104,6 Triliun Rupiah , yaitu 6,3% dari total nilai PDB Nasional, dan ketiga, kini pemerintah juga telah membentuk satu kementerian khusus yang disebut dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif.

Namun demikian, implikasi positif dari pengembangan ekonomi kreatif ini belumlah optimal. Hal ini disebabkan beberapa permasalahan yang dihadapi. Salah satunya berkait dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual—disingkat HKI. Pertanyaannya, kenapa dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap pengembangan ekonomi kreatif ini dan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut, sehingga perlindungan HKI dapat diwujudkan?

Perlindungan HKI dalam Praktik Ekonomi Kreatif

Berbicara perlindungan HKI dalam praktek ekonomi kreatif, maka ada tiga realitas yang dapat ditemukan. Realitas tersebut adalah 1) realitas perlindungan HKI berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif; 2). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI, dan 3). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan penegakan hokum HKI.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif. Suatu produk yang dapat diberikan perlindungan HKI, maka produk tersebut haruslah kreatif dan inovatif. Suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif dalam perspektif HKI hendaknya produk itu dapat memenuhi kriteria dari masing-masing rezim HKI. Untuk hak cipta suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila memenuhi Kriteria orisinalitas, fiksasi dan kreativitas, untuk paten, maka suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila produk tersebut memenuhi kriteria kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri, untuk desain industri, maka kriterianya harus baru dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya, dan untuk rahasia dagang kriteria yang harus dipenuhi adalah adanya upaya menjaga informasi yang bernilai ekonomi untuk tidak diketahui oleh umum. Nah, dengan melihat pada kriteria-kriteria ini, maka tegaslah produk yang dimintakan HKI sudah seharusnya produk itu kreatif dan inovatif. Namun sayangnya, saat ini masih ada para pelaku ekonomi kreatif tidak memperhatikan kriteria-kriteria ini. Alhasil, produk yang ada tidak baru bahkan merupakan tiruan/bajakan dari yang sudah ada sebelumnya.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI berupa prosedur pendaftaran yang dianggap rumit, berbiaya “mahal” dan waktu yang cenderung tidak pasti, sehingga akhirnya tidak didaftarkan. Hal ini tentunya memperlemah perlindungan hokum dan berimplikasi pada tidak dilindunginya produk-produk ekonomi kreatif tersebut. Realitas perlindungan HKI lainnya berhubungan dengan penegakan hokum HKI. Penegakan hokum HKI hingga kini dirasa masih tebang pilih dan kurang mendapatkan penanganan yang baik dan professional. Minimnya, aparat penegak hokum yang memiliki pemahaman baik atas HKI juga menjadi realitas nyata dalam penegakan hokum HKI. Alhasil, produk-produk ekonomi kreatif yang telah terdaftar HKI-nya tidak serta merta dapat dilindungi, meskipun telah dilakukan proses hokum yang seharusnya.

Lembaga Intermediari HKI

Mencermati realitas perlindungan HKI yang lemah atas produk-produk ekonomi kreatif, maka semestinya dicarikan solusinya. Menurut hemat penulis, solusi yang dapat diambil saat ini dalam rangka meningkatkan efektifitas perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif adalah melalui pembentukan lembaga intermediari HKI antara pelaku ekonomi kreatif dan Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM RI, di mana lembaga ini bersifat independen dan ada di bawah Kepala Daerah serta mampu bekerja secara professional. Lembaga ini juga memiliki fungsi sebagai lembaga asistensi, fasilitasi dan advokasi.

Fungsi lembaga ini sebagai lembaga asistensi ini dikaitkan dengan peranannya dalam memberikan pendampingan terhadap pelaku-pelaku ekonomi kreatif untuk senantiasa melakukan penelusuran informasi atas rencana pembuatan produk. Pendampingan akan dilakukan oleh tenaga-tenaga teknis yang professional di bidangnya. Penelusuran informasi sendiri dilakukan untuk menjawab apakah produk yang akan dibuat itu sudah orisinal atau baru? Atau sebaliknya. Apabila hal ini sudah dapat dilakukan, maka peluang produk-produk ekonomi kreatif untuk dilindungi menjadi besar. Sejalan dengan ini juga, lembaga ini akan memberikan pemahaman pada pelaku ekonomi kreatif untuk tidak membocorkan informasi terkait dengan produk mereka yang baru dibuat, apabila belum dilakukan perlindungan hokum. Dengan fungsi ini, maka perlindungan HKI yang berkaitan dengan produk kreatif dan inovatif dapat dilakukan dari sejak awal sebelum produk tersebut dilakukan pendaftaran.

Kemudian fungsi lembaga ini sebagai lembaga fasilitasi, hal ini berkaitan dengan proses pendaftaran HKI. Sebagai lembaga fasilitasi pendaftaran HKI, maka di dalamnya tentu akan tersedia tenaga teknis untuk pengurusan HKI yang benar-benar professional. Tenaga teknis ini ada dari bidang teknik, seni, teknologi informasi dan hokum/konsultan HKI. Dengan ketersediaan tenaga teknis seperti ini, maka pelayanan dalam pengurusan HKI akan dapat dilakukan secara efektif. Baik pada tahap pemberkasan, seperti; pembuatan patent drafting, design drafting, pembuatan dokumen hokum (surat pernyataan, pengisian formulir) maupun proses pendaftaran di Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM, seperti mengajukan pendaftaran, mengajukan oposisi atau mengajukan banding ke komisi banding merek. Biaya operasional untuk pengurusan HKI pun dapat diatur sedemikian rupa oleh pemerintah daerah, sehingga kemungkinan biaya pengurusan HKI yang tidak wajar dapat dihindari. Dengan penanganan pengurusan HKI yang professional serta biaya operasional yang wajar ini, maka perlindungan HKI melalui pendaftaran HKI dapat dilaksanakan.

Fungsi berikutnya lembaga ini sebagai lembaga advokasi. Untuk mendukung lembaga ini dapat memerankan fungsinya sebagai lembaga advokasi, maka lembaga ini juga akan memiliki tenaga advokat/lawyer yang tidak saja mengerti tata cara praktek hokum secara umum, tetapi mengerti juga tata cara praktek hokum HKI. Dengan adanya lembaga ini yang memiliki fungsi advokasi dan didukung oleh tenaga advokat yang profesional, maka apabila ada produk-produk ekonomi kreatif yang dilanggar HKI-nya, maka dapat dilakukan advokasi dengan baik dan harapannya perlindungan HKI dapat diwujudkan.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa perlindungan HKI sebenarnya memiliki makna yang luas. Sebenarnya, perlindungan HKI tidak hanya melalui pendaftaran saja, tetapi hal itu harusnya sudah harus dimulai sejak awal pembuatan produk kreatif dan inovatif hingga produk tersebut dipasarkan. Dengan pembentukan lembaga intermediari HKI diharapkan perlindungan HKI yang luas dapat diwujudkan, sehingga ekonomi kreatif dapat berkembang dengan baik. Wallahu’alam bis Shawab.

 

                                                            Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Banyak harapan yang dimunculkan kepada sektor ekonomi kreatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat saat ini. Terlebih lagi, ketika badai krisis menimpa negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Harapan atas meningkatnya peranan sektor ekonomi kreatif ini, tentu tidak cukup hanya sekedar tindakan sepihak dari pelaku ekonomi kreatif (creative economic actors), tetapi hal tersebut harus didukung juga dengan kebijakan dan penerapan yang nyata dari pemerintah kepada kepentingan ekonomi kreatif. Salah satu kebijakan dan penerapan yang saat ini sangat penting dan strategis dalam mendorong peran ekonomi kreatif dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adalah penguatan kebijakan dan penerapan HKI ekonomi kreatif di kota kreatif (Creative City).

Menyoalkan Kebijakan HKI 

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang selama ini dalam perspektif hukum dianggap sebagai hak (rights), dalam perspektif ekonomi HKI dapat diartikan sebagai asset, khususnya aset tidak berwujud (intangable assets). Nah, jika dilihat HKI dalam perspektif hukum, maka pengembangan kebijakan dan penerapan HKI yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat — melalui Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM menjadi sangat logis. Akan tetapi, ketika HKI itu dimaknai sebagai asset tidak berwujud, maka pengembangan kebijakan HKI oleh Pemerintah Pusat saja menjadi tidak cukup. Dukungan kebijakan HKI yang dibuat oleh Creative City  menjadi bagian lain yang harus diperkuat.

Adapun dalam prakteknya, kebijakan HKI yang dikembangkan dalam konteks ekonomi kreatif sebagai asset tidak berwujud hingga saat ini masih dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Kebijakan HKI seakan-akan hanya menjadi urusan pusat, sementara Creative City tidak memiliki urusan pada bidang ini. Akibatnya muncullah berbagai persoalan HKI dalam realitasnya. Beberapa persoalan HKI yang dapat teridentifikasi adalah; Pertama, lemahnya Creative City dalam melakukan edukasi HKI. Sering terjadi overlap dalam penyampaian materi HKI yang dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun Creative City merupakan contoh yang nyata; Kedua, lemahnya kepemilikan dokumentasi aset HKI oleh Creative City; Ketiga, lemahnya tenaga teknis Creative City dalam memfasilitasi pengurusan HKI yang berasal dari pelaku ekonomi kreatif; Keempat, ketiadaan bantuan Creative City secara nyata dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HKI yang dialami oleh pelaku ekonomi kreatif; dan Kelima, masih minimnya aset-aset HKI yang dipromosi dan dikomersialisasikan dengan dibantu peran aktif dari Creative City.

Dari berbagai persoalan di atas, maka akibat lebih lanjut yang ditimbulkan adalah lemahnya peran ekonomi kreatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Creative City.

Kebijakan HKI bagi Creative City

Setelah melihat akibat kebijakan HKI yang sentralistik oleh Pusat dan menimbulkan persoalan dalam prakteknya, maka sudah saatnya kebijakan HKI dilakukan dengan cara mensinergikan antara kebijakan HKI di Pusat dan Creative City.  Khusus, dalam hal kebijakan HKI di Creative City harusnya diorentasikan dalam kerangka pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif dalam kerangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di creative city—bukan pada pemberian hak.

Peluang untuk melakukan kebijakan pengelolaan aset HKI bagi produk ekonomi kreatif di Creative City sebagaimana yang dimaksud di atas sebenarnya dimungkinkan secara yuridis. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut ketentuan UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak mengelola kekayaan daerah. Kemudian dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; dan mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Di samping alasan yuridis memungkinkan atas dibuatnya kebijakan pengelolaan aset HKI di Creative City, secara sosiologis juga kebutuhan atas kebijakan pengelolaan aset HKI tidak dapat dihindari. Hingga kini, realitasnya produk-produk ekonomi kreatif di Creative City dirasa  secara umum belum terakomodir atas kebutuhan perlindungan HKI dan memperoleh manfaat dari HKI itu sendiri.

Ada tiga hal yang harusnya menjadi concern dari kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif, yakni; Pertama, kebijakan pengelolaan aset HKI harus mampu mendorong proses penciptaan produk-produk ekonomi kreatif yang inovatif, Kedua, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu memfasilitsi pendokumentasian, pengurusan pendaftaran dan advokasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif, sehingga aset HKI dari produk ekonomi kreatif dapat dilindungi, dan Ketiga, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu mendorong adanya kegiatan promosi  dan komersialisasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif.

Di samping, kebijakan pengelolaan HKI yang meliputi tiga hal di atas, maka ketiga hal tersebut juga semestinya disinergikan satu dengan lainnya, sehingga membentuk suatu sistem pengelolaan aset HKI dari ekonomi kreatif di Creative Dity.  Pada akhirnya, melalui pembuatan kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif di Creative City upaya memanfaatkan aset HKI sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Berdasarkan riset Business Software Alliance (BSA) dan Ipsos Public Affairs, Indonesia didudukan sebagai peringkat tujuh penggunaan software illegal dari 32 negara di dunia. Realitas ini bagi sebagian kalangan dianggap bukan hal yang mengejutkan (Indonesia tercitrakan sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran hak cipta). Akan tetapi, disadari bersama dengan adanya informasi ini, menunjukan masyarakat Indonesia dalam hal kesadaran perlindungan hak cipta masih sangat lemah. Lalu, sikap apa yang harus dilakukan pemerintah agar permasalah ini dapat terselesaikan?

Akar Masalah

Dengan peringkat tujuh Indonesia dalam penggunaan software illegal menunjukan kepada kita bahwa akar masalah dari pelanggaran hak cipta belum terselesaikan.  Apa sesungguhnya yang menjadi akar masalah, sehingga pelanggaran hak cipta software di Indonesia masih tinggi?

Sebenarnya, jika mau ditelaah secara mendalam akar permasalahan dari tingginya pelanggaran hak cipta software ini terletak pada belum terbentuknya budaya mengakui, menghormati dan melindungi hak cipta yang baik. Dari akar masalah ini, apabila diturunkan, maka dapat teridentifikasi beberapa permasalahan turunan yang yang menyebabkan budaya hak cipta yang baik belum terbentuk, yakni; Pertama, belum efektifnya edukasi HKI; Kedua, adanya kebijakan hak cipta yang tidak efektif; Kedua, terbatasnya sumber daya manusia dan lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani pelanggaran hak cipta software; dan Ketiga, masih adanya tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta.

Praktek edukasi HKI yang tidak efektif dibuktikan dengan adanya edukasi HKI yang cenderung sektoral dan parsial, serta kurang mengena kepada sasaran. Dalam konteks pendidikan formal pun, edukasi HKI nampaknya masih berkutat pada bidang hukum, sementara bidang yang lain belum teroptimalisasikan. Di lain pihak, dalam konteks pendidikan informal, edukasi HKI lebih cenderung dilaksanakan dengan sistem copy paste saja dan penyampaian materi HKI-pun cenderung pengulangan.

Selanjutnya dalam konteks akar masalah turunan kedua, sebagaimana diketahui, pemerintah dalam upaya meminimalisir pelanggaran HKI (hak cipta) saat ini telah membuat kebijakan berupa pembentukkan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI. Tim ini dibentuk berdasarkan Keppres No. 4 Tahun 2006. Namun, dilihat dari keanggotaan tim tersebut terlihat bahwa anggota-anggota yang terlibat sebagian besar adalah pejabat negara yang notabene-nya tidak memiliki waktu untuk menjalankan tugas tim. Alhasil dalam implementasinya, kebijakan ini terkesan tidak efektif.

Lemahnya profesionalisme aparat penegakan hukum terhadap bidang HKI menjadi permasalahan turunan berikutnya dari belum terbentuknya budaya hak cipta yang baik. Faktanya, pernah ditemukan ada aparat penegak hukum yang menangani kasus pelanggaran HKI, ternyata tidak mampu membedakan kasus tersebut masuk kategorisasi pelanggaran hak cipta atau paten.

Permasalahan turunan ini semakin diperburuk lagi dengan hadirnya permasalahan turunan lainnya berupa tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta. Akibatnya, ada persepsi di masyarakat bahwa  pemerintah—khususnya penegak hukum — tidaklah memiliki keseriusan dalam menegakkan hukum hak cipta.

Hal inilah kiranya yang menjadi permasalahan-permasalahan, sehingga pada saat ini Indonesia belum mampu secara maksimal mengurangi secara drastis terhadap tindakan pelanggaran hak cipta software dan harus tetap ada pada posisi tinggi atas pelanggaran hak cipta software.

 

Sikap dan Upaya 

Dengan menyadari terhadap akar permasalahan yang ada dan masih tingginya tingkat pelanggaran hak cipta software, maka pemerintah sudah selayaknya untuk  melakukan tindakan responsif dan lebih serius lagi. Wujud nyatanya harus ditunjukan dengan adanya upaya-upaya nyata dalam menurunkan tingkat pelanggaran hak cipta software. Beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah untuk hal tersebut adalah:

Pertama, mereview dan memperbaiki sistem edukasi dan penyadaran hak cipta (HKI) kepada masyarakat. Hak cipta (HKI) yang semula hanya diberikan kepada fakultas hukum sudah saatnya diberikan kepada fakultas lainnya. Bahkan jika dimungkinkan hak cipta (HKI) dapat juga diberikan kepada jenjang pendidikan dibawahnya (baca: SMA, SMP dan SD). Kegiatan sosialisasi lebih diintensifkan dan dilakukan dengan lebih terrencana.

Kedua, mengkaji kembali setiap kebijakan dalam rangka penanggulangan pelanggaran hak cipta (HKI). Kajian ini tentu harus sampai pada suatu penemuan riil atas permasalahan kebijakan yang tidak efektif. Pemerintah harus secara tegas dan berani untuk memperbaiki kebijakannya. Di samping itu, kebijakan penanggulangan pelanggaran HKI (hak cipta) yang dapat menjangkau pelanggaran-pelanggaran HKI (hak cipta) di daerah-daerah hendaknya segera dibuat.

Ketiga, memperbaiki metode penegakan hukum hak cipta menjadi penegakan hukum yang sistemik dan konsisten. Dalam hal ini, pemerintah harus secara konsisten meningkatkan jumlah dan profesionalisme aparat penegak hukum. Di samping itu, penting juga adanya suatu bentuk reward kepada penegak hukum yang secara profesional menegakkan hukum hak cipta sekaligus mampu menciptakan rasa keadilan substantif kepada masyarakat.

Pada akhirnya, melalui sikap responsif dan upaya pemerintah diharapkan di masa-masa mendatang pelanggaran hak cipta software oleh masyarakat Indonesia turun secara drastis dan hal ini sekaligus menandai terciptanya budaya hak cipta yang baik.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Berita minggu ini di media masa maupun elektronik ada hal yang menarik selain kasus kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ 100. Berita itu berupa adanya beberapa musisi dan pencipta music dan lagu nasional datang DPR untuk menyampaikan aspirasinya terkait dengan perlindungan hak cipta music dan lagi di internet yang dirasa sekarang ini sudah sangat serius. Bahkan dapat mengancam keberlangsungan industri musik Indonesia.

Musik dan Lagu Online 

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai Negara hokum sesungguhnya merupakan suatu Negara yang telah memiliki ketentuan hokum hak cipta sejak zaman hindia belanda. Hal ini terbukti Indonesia pada masa Hindia Belanda telah memiliki hokum hak cipta yang disebut dengan autherwet 1912. Kini, hokum hak cipta di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan hingga akhirnya sampai pada UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002 merupakan bentuk akomodasi atas dua hal Pertama, akomodasi atas diratifikasinya WIPO Copyrights Treaty dan World Ponogram and Performance Treaty. Konvensi ini dikenal dengan sebutan Internet Treaties.; Kedua, akomodasi atas pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam hal perkembangan teknologi internet menjadi faktor lain dari perubahan hokum hak cipta Indonesia.

Apabila memperhatikan substansi dari UU Mo. 19 Tahun 2002, maka sangat nyata bahwa UU Hak Cipta diberlakukan guna melindungi salah satunya ciptaan music dan lagu. Sebenarnya, ada hal yang sangat progresif dari pemberlakuan UU No. 19 Tahun 2002, di mana perlindungan hak cipta atas music dan lagu tidak hanya yang terdapat di dunia nyata (real world), tetapi menjangkau juga perlindungan hak cipta di dunia maya (virtual world). Hal ini dapat ditemukan salah satunya dari ketentuan yang menjelaskan tentang makna pengumuman sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002 intinya pengumuman ciptaan tidak saja menjangkau pada wilayah real world, tetapi juga pada wilayah virtual world.

Oleh karena itu, apa yang diminta oleh musisi dan pencipta music dan lagu atas usulan melakukan pemblokiran situs-situs yang melakukan praktek illegal downloading music dan lagu yang bersifat komersial dan merugikan mereka secara ekonomi terhadap DPR merupakan sebuah upaya yang sah-sah saja dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu perlindungan hak cipta yang optimal dan efektif, meskipun semestinya proses hokum juga mereka lakukan dalam kerangka pembelajaran hokum.

 

Pembelajaran Hukum

Managing Director Sony Music Entertainment Indonesia Totok Widjojo mengungkapkan,  total download lagu ilegal di salah satu situs di Indonesia bisa mencapai 6 juta kali per hari. Jika satu kali download dihargai Rp 1.000, kerugian mencapai Rp 6 miliar per hari (indotelko, 2012).

Dengan datanya, maka para musisi dan pencipta music dan lagu nampaknya mulai mencari cara untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan dari praktek illegal downloading. Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk meminimalisir kerugian tersebut yakni melalui proses hokum atau politik. Nampaknya, dalam konteks ini yang dipilih adalah proses politik. Lalu pertanyaannya, kenapa tidak dilakukan proses hokum oleh musisi dan pencipta music dan lagu? Barangkali jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah terlalu sulit dikarenakan realitas penegakan hokum di Negara kita masih memperlihatkan wajah buruknya.

Namun demikian, terlepas dari buruknya realitas penegakan hokum ada hal yang harusnya diperankan oleh para musisi dan pencipta music dalam mendorong penegakan hokum yang baik. Peran itu salah satunya melalui pembelajaran hokum kepada aparat penegak hokum dan masyarakat dengan melakukan legal action atas kasus yang dihadapi mereka. Adalah benar jika musisi dan pencipta music lagu memiliki anggapan bahwa mengurus kasus melalui proses hokum merupakan suatu bentuk pemborosan energi dan materi, tetapi dari sisi pembelajaran hukum, apa yang dilakukan musisi dan pencipta lagu dan music tersebut dapat berdampak positif juga terhadap perbaikan penegakan hokum.

Setidaknya, ketika kasus itu masuk pada proses hokum aparat penegak hokum akan dituntut untuk dapat menyelesaikan kasus secara baik dan berkeadilan. Implikasi dari tuntutan ini aparat penegak hokum akan terdorong untuk mencari tahu baik secara keilmuan atau praktis memahami kasus ini dan mengerti cara penyelesaiannya. Di sini disadari atau tidak aparat penegak hokum akhirnya secara pelahan-lahan didorong untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Hal lainnya, apabila dari proses hokum ini dapat dilahirkan suatu putusan hokum yang baik dan berkualitas, maka hal ini dapat dijadikan bahan acuan bagi proses-proses penegakan hokum berikutnya

Sementara itu, bagi masyarakat sendiri dengan diangkatnya kasus ini melalui proses hokum, maka mereka menjadi sadar bahwa tindakan illegal downloading mengandung unsur pelanggaran hokum dan menimbulkan kerugian baik bagi musisi, pemerintah dan masyarakat sendiri. Wallahualam bis Shawab.   

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapkan pada kegaduhan tentang klaim budaya tradisional oleh pihak Malaysia. Kini kasus yang muncul berkaitan dengan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) yang berasal dari masyarakat Mandailing Sumatra utara. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah banyaknya pihak yang merasa “marah” atas apa yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Dari mulai orang awam hingga para politisi. Dari adanya kegaduhan semacam ini, sungguh telah menggelitik satu pertanyaan, adakah komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlndungan budaya tradisional?

 

Jaminan Konstitusi dalam Melindungi Budaya Tradisional 

Apabila memperhatikan pada Pembukaan UUD 1945, maka jelas bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Artinya, Negara menjadi berkewajiban untuk dapat memberikan perlindungan baik pada sumber daya manusia maupun non manusia. Dalam konteks sumber daya non manusia seharusnya Negara dapat melindungi baik terhadap sumber daya alam maupun non alam, hal ini tidak terkecuali dalam hal perlindungan budaya tradisional.

Sejalan dengan hal ini, maka di dalam batang tubuh konstitusi ada beberapa ketentuan yang memberikan arahan sekaligus jaminan yang tegas atas perlindungan budaya tradisional. Adapun landasan konstitusional dalam konteks perlindungan budaya tradisional ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 18B ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.” dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Di samping ketentuan di atas, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Perubahan keempat UUD 1945 memberikan landasan semakin menguatkan arahan dan jaminan konstitusi atas pentingnya melindungi budaya tradisional di Indonesia.

 

Hilangnya Jaminan Perlindungan Budaya tradisional

Jika memperhatikan kasus yang berkembang saat ini berkenaan dengan adanya upaya Malaysia dalam melakukan pencatatan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) sebagai warisan budaya sungguh hal ini sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini muncul karena kasus ini bukanlah merupakan kasus pertama tetapi sudah menjadi kasus untuk yang kesekian kalinya berkaitan dengan budaya tradisional. Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini Negara bisa dianggap telah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional?

Berbicara tentang komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional, sebenarnya tidak cukup hanya sekedar diungkapkan dalam bentuk pada rumusan – rumusan normatif dalam konstitusi, tetapi tindakan yang lebih nyata tidak ada. Dalam realitasnya, Negara saat ini sudah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Ada dua parameter bahwa komitmen Negara susungguhnya telah hilang dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Kedua parameter tersebut adalah;

Pertama, dalam konteks penyelesaian kasus, nampak Negara tidak mampu menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pengklaiman budaya tradisional oleh pihak asing secara tuntas dan jelas. Dari mulai kasus Batik hingga Tarian Tor-Tor saat ini  Negara hanya bisa terdiam tanpa ada suatu kejelasan sikap untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kalaupun ada respon, hal ini tidak menyelesaikan kasus secara tuntas. Pengakuan oleh UNESCO atas beberapa budaya tradisional hal ini belum menuntaskan masalah perlindungan budaya tradisionl terbukti masih ada kasus pada jenis budaya tradisional lainnya. Di sisi lain, upaya mendorong semua budaya tradisional diakui UNESCO hal ini belum tentu dapat dilakukan karena persyaratan yang ketat dan bisa jadi tidak efesien.

Kedua, dalam konteks pengembangan sistem hukum, Negara tidak mampu membangun peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada pengembangan sistem perlindungan budaya tradisional. Padahal, jika mengamati kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, secara tegas konstitusi menghendaki bahwa dalam kerangka menghormati hak-hak tradisional yang di dalamnya juga memuat perlindungan budaya tradisional semestinya dibuat suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat mengoptimalisasikan maksud dari Pasal 18B tersebut. Nyatanya, hingga kini peraturan perundang-undangan yang diharapkan tak kunjung muncul. Dahulu, Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM memang pernah melakukan penyusunan RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Budaya Tradisional, tetapi RUU itu sendiri hingga saat ini tidak menunjukan kejelasan ujung pangkalnya. Oleh karena itu, hal ini dapat diartikan bahwa benar Negara sudah hilang komitmennya untuk memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Pada hari Jumat tanggal 26 April 2013, masyarakat internasional memperingati hari hak kekayaan intelektual ke-13. Dalam konteks ini seringkali peringatan ini dijadikan momentum oleh masyarakat internasional maupun negara-negara di dunia ini untuk lebih menguatkan lagi arti penting HKI dalam mendorong kemajuan peradaban manusia. Saat ini tema yang diusung oleh WIPO dalam rangka peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 adalah Innovation for the Next Generation, sedangkan tema yang diangkat oleh Direktorat Jenderal HKI adalah Inovasi Tiada Henti Untuk Kejayaan Negeri.

Bagi bangsa Indonesia, HKI harusnya menjadi sebuah kesadaran kolektif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal demikian, maka gerakan HKI benar-benar harus mampu melibatkan seluruh komponen anak bangsa. Gerakan HKI hendaknya tidak hanya bersifat parsial, sporadik, dan dilaksanakan oleh beberapa gelintir kelompok tanpa suatu arah yang jelas, tetapi harusnya menjadi suatu gerakan yang komprehensif, sistemik, dan melibatkan partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat dengan berfokus pada suatu tujuan yakni membangun kesejahteraan masyrakat Indonesia melalui HKI.

 

Catatan atas Kesadaran HKI

Bangsa Indonesia selama ini senantiasa dipersepsikan sebagai masyarakat yang belum secara optimal memiliki kesadaran HKI. Persepsi ini sebenarnya lebih disebabkan karena beberpa alasan. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan hal ini, yakni; Pertama, masih maraknya pelanggaran-pelanggaran HKI yang dilakukan bangsa Indonesia. Semisal dalam kasus pelanggaran music dan lagu menurut Anggota Dewan Pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia Jusak Irwan Sutiono ada penjualan download lagu Indonesia secara ilegal sebesar lebih dari 6 juta lagu. Misalnya 1 lagu harganya Rp 3.000 maka potensi kerugian Indonesia alias industri musik per hari sebesar Rp 18 miliar/hari.; Kedua, masih rendahnya permohonan HKI yang diajukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal pengajuan permohonan paten. Menurut data Direktorat Jenderal HKI  paten PCT Luar Negeri berjumlah 4839, Paten PCT Dalam Negeri berjumlah 8 pada tahun 2011.

Di samping persepsi kesadaran HKI masyarakat Indonesia belum optimal, hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya sistem pengelolaan HKI baik di Pusat maupun di Daerah. Indikasi lemahnya sistem pengelolaan HKI ini nampak terlihat manakala HKI saat ini masih dianggap menjadi urusan dari Kementerian Hukum dan HAM RI apabila ada di Pemerintah Pusat, sedangkan HKI menjadi urusan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila ada di Pemerintah Daerah.

Dengan hal demikian, maka dapat dikemukakan bahwa persoalan kesadaran HKI di Indonesia sesungguhnya masih menjadi hal serius. Keseriusan itu, disebabkan pemahaman HKI masyarakat Indonesia yang rendah tidak saja dialami oleh masyarakat yang notabenenya sebagai pelaku HKI, seperti pencipta, pendesain, inventor dan seterusnya, tetapi juga dialami juga oleh aparatur pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah yang notabenenya aparatur pemerintahan tersebut adalah pihak yang diharapkan dapat membangun kesadaran HKI masyarakat Indonesia lebih baik lagi.

 

Gerakan Kolektif Sadar HKI

Melihat pada realitas kesadaran HKI masyarakat Indonesia, maka tegaslah saat ini masyarakat Indoensia dalam hal membangun kesadaran HKI masih dilakukan secara parsial, sporadic, tidak focus dan pihak yang terlibat pun masih sangat sedikit. Sifat parsial dari kesadaran HKI. Alhasil, gerakan sadar HKI hanyalah menjadi sebuah rutinitas dan miliki segelintir kelompok masyarakat tertentu saja.Di samping itu juga, pengembangan sistem HKI baik di Pusat maupun di Daerah berkembang secara lambat dan cenderung belum responsive dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Menyadari hal tersebut, momentum peringatan hari HKI Se-Dunia Ke-13 pada tanggal 26 April 2013 semestinya dapat dijadikan oleh bangsa Indonesia sebagai titik tolak menggerakan kesadaran HKI yang sifatnya kolektif. Dengan membangun gerakan sadar HKI kolektif tentunya, HKI yang selama ini dikembangkan dan diterapkan di Indonesia pada akhirnya dapat membawa dampak terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini tentunya juga, sejalan dengan tujuan HKI yang tertuang di dalam Article 7 TRIPS Agreement bahwa HKI pada dasarnya dikembangkan dan diterapkan guna meningkatkan kesjahteraan masyarakat. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI Fakultas Hukum UII

 

Berita mengenai maraknya praktek plagiasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi dengan kuantitas hingga 100 orang dosen untuk melakukan kenaikan pangkat dari jenjang lektor, lektor kepala hingga guru besar menjadi sesuatu yang memprihatinkan sekaligus memilukan dalam konteks masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa, tidak perguruan tinggi yang notabene-nya merupakan institusi yang mencetak generasi penerus bangsa dan diharapkan dapat menghasilkan intelektual yang sejati baik dari sisi knowledge maupun integritas telah dinodai dengan perbuatan plagiasi yang dilakukan oleh dosen selaku pendidik di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, menjadi sangat wajar manakala terjadi perbuatan plagiasi yang sedemikian rupa ini seharusnya mulai direnungkan kembali bagaimana bangsa ini mensikapi maraknya perbuatan plagiasi.

Plagiasi dan Ketidakjujuran

Plagiasi atau plagiat merupakan sebuah peristilahan yang sangat dikenal dikalangan ilmuwan dan intelektual. Istilah plagiasi sendiri sebenarnya merujuk pada suatu perbuatan dalam konteks pembuatan karya ilmiah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan etika penulisan karya ilmiah. Semisal, mengutip pendapat orang dengan tidak menyebutkan sumbernya. Sementara itu, orang yang melakukan perbuatan plagiasi sering disebut dengan plagiator.

Ada hubungan antara perbuatan plagiasi dengan persoalan moralitas bangsa ini. Praktek plagiat dikalangan ilmuwan dan intelektual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dianggap tidak beretika/bermoral. Bentuk konkrit dari perbuatan tidak bermoral ini terrepresentasikan dalam hal adanya ketidakjujur ilmuwan atau intelektual atas ilmu yang ia kembangkan.

Apabila diperhatikan bentuk ketida jujuran merupakan basis moral yang kini sangat langka ditemukan di Indonesia. Rasanya di negara ini sangat sulit menemukan orang jujur daripada menemukan orang pintar. Oleh karena itu, menjadi persoalan serius manakala, perbuatan plagiasai ini eskalasinya terus meningkat di Indonesia. Betapa seriusnya persoalan ini karena diyakini dengan maraknya sikap tidak jujur dari kalangan pendidik/dosen dalam membuat karya ilmiah akan berdampak lanjutan pada ketidak jujuran lainnya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kualitas integritas hasil pendidikan saat ini menjadi sangat rendah.

Maka, tidak mengherankan dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak ditemukan masyarakat Indonesia hampir sebagian besar, berikut para penyelenggaraan pemerintahannya saat ini hidupnya penuh dengan kepura-puraan kalau tidak dikatakan mereka hidup dengan penuh ketidakjujuran. Contoh yang paling dekat saat ini, dapat dilihat pada kasus penangkapan ketua MK, di mana ia seorang yang bergelar doktor kemudian tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan korupsi. Padahal, sebelumnya ia nampak garang dengan gejala korupsi yang ada di Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita abaikan.

Gerakan Sosial Anti Plagiasi

Melihat implikasi dari perbuatan plagiasi terhadap masa depan bangsa yang sangat berbahaya ini, maka harusnya pemerintah dan institusi terkait lainnya, seperti institusi pendidikan harusnya dengan serius melakukan langkah-langkah strategis guna menghilangkan perbuatan plagiasi itu sendiri. Setidaknya perbuatan plagiasi dapat ditekan sedemikian rupa keberadaannya.

Salah satu yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah menjadikan gerakan anti plagisasi sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial anti plagiasi merupakan perluasan dari gerakan hukum dan merupakan pengejawantahan dari langkah-langkah strategis dalam menekan perbuatan plagiasi itu sendiri. Adapun gerakan sosial yang dimaksudkan adalah dengan cara mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk sepakat menyatakan tidak pada segala bentuk perbuatan plagiasi.

Diharapkan dengan adanya gerakan sosial semacam ini, maka sanksi sosial akan dapat memperberat sanksi hukum. Bagaimanapun, dua sanksi ini dapatlah dijadikan sarana efektif ke depan dalam mencegah perbuatan plagiasi yang telah menjadi akar dari kebobrokan bangsa ini secara moral. Di samping itu, dengan adanya dua macam sanksi ini diharapkan bangsa ini benar-benar dapat mewujudkan apa yang menjadi komitmen para founding fathers bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII